tag:blogger.com,1999:blog-63152235760224221562024-01-02T11:44:47.428-08:00SIMON JONATAN THE BRANDMAKER INDONESIASIMON JONATANhttp://www.blogger.com/profile/05617154832802540814noreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-6315223576022422156.post-20636549786270004042006-12-18T03:27:00.000-08:002006-12-18T03:35:28.394-08:00MARKETING ACTION<div align="justify"> </div><div align="justify">Dalam hal pengembangan produk baru Muhammad Warsianto, tokoh dibalik penciptaan kategori rokok mild yakni A Mild (PT HM Sampoerna), Star Mild (PT Bentoel Prima) dan Clas Mild ( PT NTI Indonesia, dari Grup Nojorono Kudus) bersedia berbagi rahasia sukses launching produk baru yang dirumuskannya sebagai berikut :<br /><br /><strong>SUCCESS FOR LAUNCHING = MARKETING MIX + SPEED + EFFICIENCY + CUSTOMER SATISFACTION + PASSION<br /><br /></strong>Dalam hal peluncuran produk rokok mild langkah-langkah tersebut dilakukan. Pertama, pemasar melihat kebutuhan dan keinginan konsumen atau perokok. Setelah itu, baru dikembangkan bauran permasaran yang meliputi produk, harga, promosi dan distribusi. Hal itu dimulai dari produknya itu sendiri. Produk apakah yang sesungguhnya diinginkan konsumen? Sebab produk rokok bukan hanya menyangkut cita rasa (taste profile) saja tetapi juga keseluruhan produk (total over product) termasuk desain dan penampilan kemasan. Soal harga tergantung sasaran pasarnya. Apabila sasaran pasar menengah ke atas maka harga produk harus diposisikan ke sana. Setelah itu terdapat promosi dan distribusi. Dalam distribusi salah satunya menyangkut ketersediaan produk di pasar. Namun, ada hal yang lebih penting lagi yakni bahwa semua bauran pemasaran tadi harus disertai dengan kecepatan (speed) ,efisiensi (efficiency) dan kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Itu semua baru sempurna apabila semua pelaksana launching melakukannya dengan menjiwai tugas yang diembannya dengan sepenuh hati (passion).<br /><br />Salah satu poin terpenting dari bauran pemasaran adalah masalah distribusi atau place. Pada tahun 1994, pada saat launching Extra Joss, penulis hanya memiliki satu pilihan distributor yang harus digunakan, yaitu PT. Enseval, sebagai sister company PT. Bintang Toedjoe. Bukan hampir, tetapi semua produk Kalbe Group (mother company PT. Bintang Toedjoe dan Enseval) didistribusikan oleh PT. Enseval. <br /><br />Distributor ini memiliki:<br />- Divisi ethical<br />- Divisi raw material<br />- Divisi alat-alat kesehatan<br />- Divisi KWI (Kalbe, Dankos)<br />- Divisi OTC (Bintang Toedjoe)<br />- Divisi CPP Consumer (kelompok eksternal)<br /><br />Saat itu penulis memberikan presentasi ke manajemen mengenai perlunya memakai distributor yang paling cocok untuk Extra Joss yang termasuk kategori health drink. Saya presentasikan table di bawah ini, yang memperlihatkan perbedaan nyata antara kategori produk dan jenis distributor yang harus dipilih.<br /><br /><br />Ethical<br />Obat Bebas<br />Health Food<br />Consumer<br />Weighted Outlet<br />Apotik<br />P&D, Warung<br />P&D, Warung<br />P&D, Warung, Horeka (hotel, restoran, kantin)<br /></div><div align="justify">Jumlah Outlet<br />Terbatas<br />> 2.500.000<br />> 2.5000.000<br />Tak terbatas<br /></div><div align="justify">Nilai produk/karton<br />Besar<br />Menengah<br />Kecil<br />Sangat kecil<br />Margin<br />Besar<br />Menengah<br />Kecil<br />Sangat kecil<br /></div><div align="justify">Type of Consumption<br />Occasionally<br />Jarang<br />Sering<br />Impulse<br /></div><div align="justify">Kecepatan Produk<br />Sangat Slow<br />Moving<br />Slow Moving<br />Fast Moving<br />Very Fast Moving<br /></div><div align="justify">Loyalitas Produk<br />Tergantung<br />Resep dokter<br />Loyal<br />Cukup Loyal<br />Substitusi<br /></div><div align="justify">Penetrasi<br />Perkotaan<br />Sampai Pedesaan<br />Sampai Pedesaan<br />Sampai Pedesaan<br /></div><div align="justify">Availability<br />Tidak usah terlalu rata<br />Gradual sesuai demand<br />Gradual sesuai demand<br />As Soon As Possible (ASAP)<br />First Buying<br />Resep dokter<br /></div><div align="justify">Iklan, word of mouth<br />Iklan<br />Iklan<br />Attitude Salesman<br />Order by call<br /></div><div align="justify">Fokus ke Grosir<br />Spreading<br />Spreading<br />Mental Salesman<br />Tergantung<br />MedRep<br />EffCall harus tinggi<br />EffCall harus tinggi<br />Push Sales<br /><br />Singkat cerita, manajemen setuju menjadikan Extra Joss menjadi satu-satunya produk yang didistribusikan di luar group dengan tujuan belajar dan “melihat” dunia yang lain.<br /><br />Tahun 1995, Extra joss di- launching dengan melalui pemilihan di antara tiga distributor local yakni :<br /><br />1. Wicaksana (Rokok BAT, Aqua, Snacks)<br />2. Tata trading (Filma/cooking oil)<br />3. Tiga Raksa (Dairy / milk)<br /><br />Tiga distributor besar di atas adalah pemain nasional yang mempunyai produk backbone yang mempunyai spesifikasi yang jelas, lalu dinominasikan dengan criteria sebagai berikut:<br /><br />a) Pengalaman (experience)<br />b) Mempunyai organisasi nasional dan cabang di seluruh Indonesia<br />c) Mempunyai backbone produk fast moving consumer good dan pemimpin pasar sehingga distributor memiliki bargaining power yang kuat terutama dengan supermarket dan hipermarket (HCO)<br />d) Memiliki kekuatan di dua lini, tradisional dan HCO, tidak mengandalkan subdistribusi di cabang tapi langsung ke grosir dan retail<br />e) Mempunyai keuangan yang kuat. Akan lebih baik bila ada Bank Gurantee.<br />f) Mempunyai gudang yang memadai terutama untuk produk-produk seperti minimun ringan atau makanan ringan.<br />g) Mempunyai organisasi yang jelas terutama tenaga penjual yang benar-benar menangani dan mendistribusikan produk perusahaan.<br />h) Dapat memberikan laporan-laporan yang diperlukan dengan tepat waktu sesuai kebutuhan.<br />i) Mempunyai team tenaga penjual dan canvaser yang memadai untuk menangani outlet numeric yang hendak dijangkau.<br />j) Memiliki database outlet yang terdaftar (registered) dan bertransaksi secara rutin, karena terdaftar belum tentu ada transaksi atau ditangani.<br />k) Memberikan harga atau biaya per distribusi yang memadai dan efisien.<br /><br />Dari kriteria di atas, manajemen memilih Wicaksana, karena saat itu Wicaksana memiliki produk backbone di tradisional maupun HCO, dan tipe produk yang fast moving di gerai toko kelontong sehingga cocok dengan Extra Joss.<br /><br />Beberapa ekspektasi yang salah dalam memilih distributor :<br /><br />Karena ditawarkan harga murah, maka dipilih distributor kecil yang tidak punya produk fast moving / backbone. Sehingga, dengan konsep kredit lunak untuk grosir dan pembayaran tunai untuk gerai kecil makia sasaran pipe the line tidak akan tercapai. Saat dikejar sasaran availability numerik maka cenderung tenaga penjual melakukan tindakan konsinyasi (titip jual). Resiko konsinyasi untuk produk baru adalah barang terkesan tidak laku atau dianggap produk contoh (sample) dan dikonsumsi oleh pedagangnya.<br /><br />Mencari distributor yang bisa menangani sampai warung. Kenyataannya tidak ada distributor yang jangkauannya sampai ke warung-warung. Jadi, mengapa banyak barang atau produk bisa sampai ke warung kecil atau warung rokok? Hal itu terjadi karena adanya permintaan (demand).<br /><br />Tabel distribution<br />NO<br />(A)<br />Jenis outlet terdaftar / transaksi reguler<br />(B) Jumlah<br />(C)<br />Langganan<br />(D)<br />AV Numerik<br />1<br />Star Outlet (punya team kanvas)<br />200<br />200<br />40.000<br />2<br />Grosir (sitting duck)<br />1.000<br />100<br />100.000<br />3<br />Retailer<br />30.000<br />-<br />30.000<br />4<br />Hipermarket / Supermarket<br />4.000<br /><br />4.000<br />TOTAL<br />35.200<br /><br />174.000<br /><br />a) Kolom (A) adalah kolom jenis outlet standar dalam penyebutan<br />b) Kolom (B) adalah outlet terdaftar yang terdapat dalam database distributor dan rutin ada transaksi minimal 1X per bulan.<br />c) Kolom (C) adalah keterangan bahwa outlet jenis Star Outlet dan dan Grosir / mempunyai langganan. Prinsipal / distributor dapat melakukan program supaya produk bisa ditekan supaya menyebar ke semua pelanggan mereka.<br />d) Kolom (D) adalah kolom AV numerik maksimal yang bisa dilakukan dalam pipe the line.<br /><br />Apakah rapor penilaian distributor oleh principal?<br /><br />AV Omnibus (total) tercapai. Point ini sangat debatable, merupakan tanggungjawab permintaan / demand, atau tanggung jawab distributor?<br />AV numerik 100%<br />Merchandising harus bagus, [roduk ditempatkan di ”see level”, Point of Purchase (POP) material prinsipal harus terpasang tapi bila muatan produk distributor terlalu banyak, maka tenaga penjual tidak memiliki waktu atau kesempatan lagi untuk membantu atau melakukan kegiatan merchandising. Hal utama yang salesman lakukan hanyalah “sell, sell, sell”. Point merchandising ini yang membuat principal besar (omset besar, range produk banyak) untuk melakukan tindakan sebagai berikut :<br /><br />1. Menuntut service “exclusivitas” team salesman. Task Force tidak boleh menangani produk perusahaan lain.<br />2. Mulai melakukan analisa “SWOT” untuk membentuk team sendiri.<br />3. Membentuk team special promosi untuk melakukan gerakan “merchandising” di POP<br />4. Pindah distributor.<br /><br />Pembayaran lancar, keuangan kuat<br /></div><div align="justify">Jumlah salesman, jumlah kanvas dan jumlah outlet numeric bertambah<br /></div><div align="justify">Sistem pelaporan makin cepat, akurat dan ditunjang oleh “IT” yang reliable.<br /></div><div align="justify">Last but not the least, target tercapai dan kontrak kerjasama sudah selesai.<br /><br />Pada tahun 2001, setelah Extra joss mencapai nilai lebih dari Rp 300 miliar timbul wacana di Group Kalbe untuk mengembalikan produk terbesar di Kalbe Group dan Enseval.<br /><br />Maka pada 2002 diputuskan produk Extra Joss dipindah ke Enseval dengan persiapan-persiapan sebagai berikut untuk meminimalkan resiko penurunan penjualan yaitu:<br /><br />Memetakan dan membuat database outlet numeric<br /></div><div align="justify">Memberikan batas kuota jumlah pembelian besar pada outlet star dan grosir sehingga menjamin aliran produk ke outlet di luar outlet numeric.<br /></div><div align="justify">Membangun tim motorisasi yang dilatih dengan mindset “consumer” bukan “OTC” sebanyak yang diperlukan di semua kota sebagai team principal satu tahun sebelum “Hari H” (D Day). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Pada hari H, tim ini akan dikembalikan ke distributor baru.<br /></div><div align="justify">Sebagai project leader, penulis mengkoordinasikan team principal dan team new distributor dengan team building, new paradigm dan training lainnya.<br /></div><div align="justify">Meminimalkan stok di distributor lama dan membangun stok satu bulan sebelum hari H di distributor baru.<br /></div><div align="justify">Semua star outlet dan grosir dari seluruh Indonesia diundang pada hari H secara resmi menjadi tim yang kuat dan satu dengan direktur, sales manager, district manager new distributor selama 4 hari di kapal “star cruise”<br /></div><div align="justify">Menjaga momentum permintaan pertumbuhan dengan promosi besar-besaran karena penjualan turun bukan karena perpindahan distributor tapi karena permintaan. Bila permintaaan kuat, maka apapun perubahan yang dilakukan gerai pasti tetap dilakukan stok barang.<br /><br />Dengan persiapan selama satu tahun, terencana dan matang, maka perpindahan berjalan lancar dan hasilnya target tercapai plus sekarang Enseval mempunyai tim konsumen yang kuat yang memenuhi segala persyaratan untuk dikembangkan menjadi tim sekuat distributor Unilever, Coca Cola dan Sosro.<br /><br />Dalam marketing action selain bauran pemasaran (marketing mix), core benefit category juga perlu diperhatikan. Hal itu penting sekali apabila produsen bermaksud melakukan rejuvenasi terhadap produk yang sudah mulai menua di pasar.<br /><br />Sebuah anekdot tentang rejuvenasi digambarkan sebagai berikut. Seorang perempuan setengah baya mendapat serangan jantung. Ketika dioperasi, ia hampir saja meninggal dunia. Saat itulah ia bertemu malaikat dan bertanya, apakah sekarang waktunya untuk meninggal. Malaikat menjawab, "Kamu masih akan hidup 30 tahun lagi." Setelah siuman dan selesai operasi, perempuan itu merasa girang. Masa 30 tahun dianggapnya cukup panjang untuk menikmati sisa kehidupan dan harus diisi sesuatu yang menyenangkan. Namun apa yang bisa dilakukan dengan wajah tua dan kulit keriput? Terpikirlah olehnya untuk tetap tinggal di rumah sakit guna menjalani operasi bedah plastik. Wajah, perut, kulit, pinggul, dan bagian tubuh vital lainnya ia permak habis. Setelah dioperasi plastik, jadilah perempuan tadi tampak seperti gadis berumur 25 tahun. Cantik dan kulitnya kencang. Saking girangnya, begitu keluar dari rumah sakit dan hendak menyeberang jalan, ia lupa tengok kiri-kanan. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya, ia pun meninggal. Di alam baka ia bertemu malaikat yang pernah dijumpainya dulu. "Katanya aku akan hidup 30 tahun lagi, tapi kenapa nyawaku kau ambil?" Sang malaikat pun menjawab, "Oh kamu toh, saya tidak tahu, habis wajah kamu beda sih."<br /><br />Seorang Brand Eksekutif Officer harus memiliki kemampuan untuk menjadi ”juru bedah plastik” bagi produknya ketika mulai produk tersebut mulai menjadi ”tua dan keriput”. Merupakan suatu hal yang lumrah terjadi ketika produk kita ditinggalkan pelanggan karena dianggap sebagai produk tua. Masalah yang terjadi adalah banyak marketer yang enggan menjadi ”juru bedah plastik” bagi produk mereka karena takut produk itu akan ditinggalkan pelanggan yang ”pangling”.<br /><br />Tersebutlah sebuah pameo, ”lebih baik mencari pelanggan baru karena untuk mempertahankan pelanggan lama lebih mahal daripada mencari pelanggan baru” Loyalitas menjadi begitu mahal harganya dibandingkan menjaring pelanggan baru. Mengapa? Karena dunia selalu mengalami perubahan, tidak ada yang abadi di dalamnya kecuali perubahan itu sendiri. Akhirnya, manusia juga berubah menjadi demanding dan tidak loyal. Artinya, orang-orang yang konservatif, konvensional, dan late adopter cenderung berkurang, tetapi cenderung menjadi lebih inovatif, early adopter.<br /><br />Teknologi komunikasi massa yang terus berkembang belakangan ini membuat pelanggan semakin mudah terpengaruh dan mudah menerima ide-ide baru. Sebelum televisi swasta beroperasi, dan TVRI dilarang beriklan, para marketer sulit sekali melakukan launching produk sampai sukses. Kebetulan, saya menjadi marketer yang melakukan launching produk di jaman TV swasta mulai tampil menjadi kekuatan dahsyat merubah ’mind’ pelanggan. Ternyata loyalitas terhadap market leader mudah digoyahkan, hasilnya KOMIX berhasil menaklukkan Konidin, Vicks Formula dan Laserin dalam waktu singkat dengan menggunakan senjata ”TV Swasta”. Teknologi yang makin canggih dan murah membuat pelanggan mudah berpindah sehingga dengan ’ipod’ memakan pasar walkman dalam hitungan bulan dan VCD Cina dengan harga sangat murah membunuh semua produk bermerk<br /><br />Media massa termasuk paling sering melakukan ”Operasi Plastik”. Kompas misalnya, yang melakukan face lift dengan cara menciptakan ide-ide cerdas untuk menjaga konsumen loyalnya. Atau mereka telah menyadari bahwa mempertahankan pelanggan loyal ternyata sangat mahal dan tidak ada masa depan. Walaupun ada ancaman perginya konsumen loyal (pelanggan yang telah lebih dari 10 tahun), mereka lebih memilih meraih masa depan dan mencari pelanggan baru (muda).<br /><br />Kasus menarik yang sama terjadi di majalah. Mengapa majalah menarik dalam kasus loyalitas? Karena setiap terbit semua majalah terutama majalah wanita selalu merubah warna cover dan lay out mereka, rasanya tidak ada produk konsumer yang berani merubah penampilannya setiap 3 bulan atau bahkan setiap tahun.<br /><br />The main enemy of growing adalah ”comfort zone” dengan alasan bahwa sekarang pemimpin pasar , penjualan bagus , konsumen kemungkinan membenci perubahan, nanti ditinggalkan pelanggan loyal dan tidak ada pesaing kuat karena bertahun-tahun ”izin terbit media” dipasung, dan mahal maka banyak media cetak Orde Baru (sebelum 1998) yang wajahnya tidak berubah sejak awal terbit sampai Orde Baru jatuh (tahun 1998), istilah kasarnya mereka menikmati dengan happy dan nyaman proteksi yanga ada.<br /><br />Sejak Orde Reformasi dan Departemen Penerangan dihapuskan dan SIUP dihilangkan, banyak pemain baru baik dalam negeri maupun pemain besar luar negeri dengan brand kuat menyerbu pasar media cetak Indonesia dan menggoyahkan pasar pemain lama yang merasa nikmat sekian lama diproteksi.<br /><br />Peperangan paling seru ada di pasar paling gemuk, yaitu segmen wanita yang buying powernya besar, terlihat dari masuknya majalah luar negeri seperti Cosmopolitan, Lisa, Her World, Bazaar, yang masuk pasar Indonesia dan menggerogoti market share pemain lama.<br /><br /><br />Nama Majalah<br />Tiras per tahun (akhir 2004)<br />Persentase<br />Kartini<br />154<br />15.28%<br />Cosmpolitan<br />139<br />13.79%<br />Femina<br />130<br />12.90%<br />Lisa<br />110<br />10.91%<br />Female<br />95<br />9.42%<br />Cita Cinta<br />70<br />6.94%<br />Sartika<br />60<br />5.95%<br />Dewi<br />50<br />4.96%<br />Her World<br />50<br />4.96%<br />Bazaar<br />45<br />4.46%<br />Nirmala<br />40<br />3.97%<br />Pesona<br />40<br />3.97%<br />Amanah<br />25<br />2.48%<br />Sumber : Diolah dari berbagai sumber<br /></div><div align="justify">Data di atas adalah data oplah atau tiras majalah di Indonesia menurut berbagai sumber tahun 2005 berdasarkan pengakuan penerbit dan unaudited. Data ini memperlihatkan pemain baru luar negeri dan dalam negeri seperti Cosmopolitan, Lisa dan Female merangsek mengejar pemain lama yang sudah lama bercokol di atas. Yang mengejutkan, Cosmopolitan dinyatakan sudah melampaui Femina. <br /><br />Tahun 2005 Femina melakukan gebrakan relaunching operasi plastik merubah penampilannya lebih modis dan seksi. Dengan gencar beriklan di TV dan media cetak terlihat Femina melakukan strategy Face Lift atau New Look supaya tidak terkesan tua dibanding Cosmopolitan yang tampil seksi dan hot dengan tag line ”fun fearless female”. Kelihatan bahwa Femina tidak mau dibilang tua sehingga wanita muda enggan dibilang generasi ”bonyok” (bokap-nyokap). Yang jadi problem adalah bila dilakukan face lift atau new look ternyata membuat pembaca setia menjadi pangling dan enggan membeli lagi.<br /> </div><div align="justify">Data ini adalah data survey yang dilakukan olah AC Nielsen per Mei Juni tahun 2005 ke pmebaca majalah wanita di 5 kota besar, sehingga lebih mewakili peta majalah wanita di Indonesia dibandingkan dengan tiras pengakuan penerbit yang unaudited. Memang ada pertumbuhan yang cukup luar biasa sejak mulai dijual di Indonesia terutama setelah era tahun 2000. Yang menjadi pertanyaan, benarkah tiras Cosmopolitan sudah melewati Femina dan mendekati Kartini? Apakah majalah Cosmopolitan terjual banyak tapi yang mengaku membaca Cuma 20 persen saja? Bagaimana dengan Lisa yang dibaca oleh 10 persen.<br /><br />Apakah majalah-majalah baru dari dalam dan luar negeri menjadi ancaman bagi dua besar Kartini dan Femina? Dari data di atas terlihat bahwa dua besar tersebut masih dominan dan menguasai pasar. Jadi, mengapa Femina melakukan ”Face Lift” dan kemudian Kartini melakukan ”New Look”. Apakah ada insight-insight yang memberikan tanda-tanda bahwa generasi baru merasa lebih gaya, lebih elite, lebih maju dan lebih hot dengan majalah luar negeri? Coba kita simak dengan data di bawah ini.<br /><br />Dari data diatas terlihat ada ancaman bagi pemegang tahta di segmen usia muda. Di dunia konsumen memang usia muda selalu menjadi target sasaran yang paling ramai menjadi arena pertarungan pemain baru sebagai challenger dan pemain lama sebagai defender. Usia muda cenderung bersikap innovator, early adopter, mudah menerima sesuatu yang baru dan cenderung ingin berbeda dengan orangtuanya. Sikap ini membuat para pemain lama or market leader mati-matian berusaha membuat produknya tetap muda terutama produk-produk yang cenderung life style yang perpindahan gayanya sangat singkat atau produk-produk konsumer yang targetnya cenderung muda.<br /><br />Belajar dari kasus Kartini dan Femina, apa yang harus dilakukan para market leader untuk mempertahankan loyalitas pelanggannya dan tapi tetap menyegarkan diri mencari pelanggan baru?<br /><br />Kenalilah kontribusi konsumen Anda berat ke atas (tua) or berat ke bawah (muda) pasti lewat survey or research random, saya pernah menangani produk Puyer 16 Bintang Toedjoe yang umurnya sudah 50 tahun, konsumen loyalnya jelas berat ke “tua”, rasanya pahit dan asam ancamannya adalah trend obat sakit kepala adalah bentuk tablet or kapsul. Apa yang harus dilakukan? Merubah bentuk sediaan tidak memungkinkan secara teknologi, merubah formulasi dapat menyebabkan konsumen loyal “pangling” karena terasa tidak efektif, merubah packaging bisa membuat konsumen tua “pangling”. Diputuskan bahwa Puyer 16 hanya disegarkan dengan “New Look” packaging baru dengan isi sama dan ditargetkan tetap orang tua dengan objektif “mempertahankan value, bukan unit”. Untuk konsumen muda dicoba dengan brand baru dengan rasa manis dan gagal saat launching karena rasa manis dengan bentuk puyer tidak “dipersepsi penting” oleh konsumen.<br /></div><div align="justify">Lakukan penyegaran saat masih tumbuh jangan terlambat saat pangsa pasar turun atau penjualannya turun.<br /></div><div align="justify">Yang paling sederhana dan konvensional adalah ”redemption” memberikan hadiah ke konsumen loyal dan membujuk konsumen baru, tapi saat ini beberapa kategori sudah dilarang melakukan hal ini dan beberapa asosiasi produk juga lengingatkan anggotanya bahwa perang hadiah menghancurkan diri sendiri.<br /></div><div align="justify">Berkomunikasilah secara konsisten dan terencana dengan media massa (dengan total GRP minimal) atau darat, karena produk yang lama tidak melakukan komunikasi akan terkesan tua, sakit, looser atau mau mati.<br /></div><div align="justify">Langkah menyegarkan paling mudah setelah berkomunikasi adalah merubah pesan (materi) komunikasi yang lebih modern (jangan memakai iklan yang sama terus-menerus lebih dari satu tahun karena akan mengesankan produk Anda tua atau mengganti endorser dengan yang lebih muda)</div><div align="justify"><br />Bila insight menunjukkan ada ancaman pemain baru, maka penampilan ”New Look” or repackaging diperlukan untuk menunjukkan jati diri sebagai brand yang dinamis, tidak ketinggalan jaman, untuk produk life style waktunya bisa setahun sekali atau kalau konsumen cenderung muda, maka 3 tahun sekali. Yang menarik seperti telah disebut diatas di kategori majalah wanita warna dan lay out cover selalu berubah setiap terbit. Mengapa? Karena majalah di jaman sekarang sangat life style dan laku terjual karena pengaruh judul bombastis di cover depan. Bila diperlukan ”new look” saja tidak cukup tapi harus mengembangkan formula baru atau contain yang one step ahead dibanding kompetitor, produk-produk Unilever seringkali melakukan langkah ini baik dengan sub produk baru dengan brand sama atau brand sama produk sama dengan contain baru. Langkah ini banyak dilakukan oleh kategori house hold, personal care dan elektronik.</div><div align="justify"><br />Bila arah bisnis berubah dan kompetisi berubah arah dan bertambah ketat maka diperlukan strategi re-branding yang masif, tajam, fokus untuk merubah persepsi konsumen seperti yang dilakukan oleh National ke Panasonic, Handiplast menjadi Hansaplast. Hazeline Snow dirubah menjadi menjadi Citra, Brisk dirubah menjadi Clear dan Dankos dimerger menjadi Kalbe Farma.<br /><br />Kesimpulannya adalah bahwa harga mempertahankan pelanggan loyal saat ini sama mahalnya dengan mencari pelanggan baru atau dengan kata lain loyalti hampir hilang di tengah global marketing saat ini, mereka (loyalis) lebih senang diperlakukan sebagai pelanggan baru. Pelanggan berseru loyal pada produk Anda ketinggalan jaman dan merugikan kami. ***<br /><br /> </div>SIMON JONATANhttp://www.blogger.com/profile/05617154832802540814noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6315223576022422156.post-32709441985713880502006-12-18T03:22:00.000-08:002006-12-18T03:25:43.591-08:00STUDI KELAYAKAN DAN RISET PEMASARAN<div align="justify"> </div><div align="justify">Kenichi Ohmae dalam bukunya The Mind of The Strategist membedakan strategi bisnis dengan perencanaan bisnis lainnya berupa adanya keunggulan bersaing. Tanpa adanya persaingan tidak dibutuhkan strategi. Sehingga tujuan utama perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat meraih tujuan seefisien mungkin dan unggul dibandingkan pesaingnya.<br /><br />Ada empat dasar strategi bisnis menurut Kenichi Ohmae. Yang pertama, strategi yang didasarkan pada KFS (key factors for success). Kedua, strategi yang berdasarkan superioritas relatif. Ketiga, strategi berdasarkan inisiatif yang agresif. Dan keempat, strategi bisnis berdasarkan derajat kebebasan berstrategi.<br /><br />Sedangkan esensi perumusan strategi menurut Michael E. Porter adalah untuk menghadapi desakan persaingan. Keadaan persaingan suatu industri tergantung pada lima kekuatan persaingan dasar yakni persaingan di antara industri itu sendiri, ancaman dari pendatang baru, ancaman dari produk subtitusi, kekuatan pembeli serta kekuatan dari para pemasok.<br /><br />Persaingan semakin menguat bila terjadi kondisi seperti di bawah ini :<br /><br />1. Bila jumlah pesaing meningkat serta ukuran dan kemampuan mereka semakin menyamai kita.<br />2. Ketika permintaan terhadap produk mulai bergerak lambat.<br />3. Ketika pesaing tergoda dengan kondisi industri untuk menggunakan teknik potongan harga atau senjata lainnya untuk meningkatkan unit volume penjualan.<br />4. Ketika produk dan jasa pesaing menjadi sama sehingga pertimbangan konsumen akhirnya mempertimbangkan biaya paling murah untuk beralih dari merek satu ke merek lainnya.<br />5. Ketika harganya mahal maka lebih baik keluar dari bisnis ketimbang tetap berada di pasar dan bersaing.<br />6. Persaingan menjadi semakin sengit dan tidak mampu diramalkan ketika pesaing makin menganekaragamkan strategi, sumberdaya manusia, prioritas perusahaan, sumber daya alam dan negara asalnya.<br /><br />Sementara ancaman dari pendatang baru muncul ketika sebuah industri menunjukkan prospek yang menguntungkan. Bila pemintaan akan produk dalam industri tersebut tidak mengalami peningkatan maka harga dan kemudian laba akan segera mengalami kejatuhan. Jadi para pendatang baru mengancam batas atas keuntungan yang selama ini dinikmati industri. Yang umumnya menjadi hambatan bagai pendatang baru adalah :<br /><br />1. Skala ekonomi. Bentuk berupa keunggulan biaya dengan mengoperasikan produksi dalam skala besar.<br />2. Eksistensi dari manfaat biaya yang diperoleh dari pengalaman. Di sini keunggulan bukan diperoleh dari skala operasi yang besar tetapi dari pengalaman memproduksi berulang-ulang produk yang sama.<br />3. Preferensi merek dan loyalitas konsumen membuat sulit bagi pendatang baru untuk mengajak konsumen meninggalkan pemasok lama mereka.<br />4. Kebutuhan modal. Besarnya modal awal yang dibutuhkan untuk membangun sebuah industri merupakan unsure penggentar bagi pendatang baru (misalnya, di industri penambangan minyak atau luar angkasa).<br />5. Akses ke jalur distribusi. Bila perusahaan tak mampu menjangkau pelanggan lebih efektif daripada perusahaan yang sudah ada maka produk perusahaan akan susah terjual.<br />6. Peraturan dan kebijakan pemerintah seperti pembatasan tarif dan non tarif, pajak, hak paten dan sebagainya.<br /><br />Kekuatan lainnya adalah ancaman dari produk subtitusi. Pelanggan mudah sekali beralih ke produk subtitusi bila ternyata mereka dapat menawarkan dengan kualitas lebih baik dan harga lebih murah. AQUA dan produsen air minuman dalam kemasan (AMDK) lainnya merasa terpukul sekali dengan keberadaan depo air minum isi ulang sebagai produk subtitusi. Apalagi konsumen tidak perlu mengeluarkan ongkos lain sebagai switching cost untuk beralih ke depo air minum isi ulang.<br /><br />Kekuatan lainnya adalah kekuatan dari para pembeli yang dapat melakukan tawar-menawar keuntungan dengan perusahaan di dalam industri.<br /><br />Pembeli dalam kondisi perkasa dalam situasi sebagai berikut :<br /><br />1. Kelompok pembeli berkonsentrasi dan melakukan pembelian dalam jumlah besar.<br />2. Produk-produk yang dibeli dari suatu industri merupakan produk-produk standar dan tidak terdiferensiasi. Kelompok pembeli yakin mereka dapat mencari alternatif pemasok sehingga dapat mempermainkan perusahaan dengan perusahaan lainnya.<br /><br />Sedangkan kelompok pemasok dapat menggunakan kekuatan tawar-menawar mereka untuk mempengaruhi semua pihak yang berpartisipasi dalam industri dengan cara menaikkan berbagai harga dan mengurangi kualitas produk atau jasa yang dibeli. Dengan demikian para pemasok yang kuta dapat menekan kemampulabaan dari industri-industri yang tidak mampu mengimbangi kenaikan harga yang terjadi.<br /><br />Suatu kelompok pemasok kuat bila :<br /><br />1. Kelompok tersebut didominasi sejumlah kecil perusahaan dan lebih berkonsentrasi pada industri yang menjualnya.<br />2. Produknya unik atau setidak-tidaknya memiliki pembedaan dengan produk lainnya.<br /><br />Pemahaman tentang Strategi Generik karya Michael E. Porter diperlukan. Yang pertama adalah Overall Cost Leaderhips. Pada dasarnya bila perusahaan menawarkan sebuah produk sesuai standar tetapi dapat diproduksi dengan biaya lebih rendah dari rata-rata industri maka perusahaan itu mampu meraih keuntungan superior. Namun , agar tetap meraih laba yang superior maka produk perusahaan itu tidak boleh terkesan murahan atau dipersepsi memiliki kualitas rendah oleh pembeli.<br /><br />Ada beberapa cara untuk membuat biaya turun dengan kualitas tetap terjaga yakni dengan menggerakkan turun kurva pengalaman dibandingkan pesaing atau meningkatkan skala operasi sehingga mencapi tingkat skala ekonomi yang tinggi.<br /><br />Bagaimana caranya agar biaya rendah memberikan keunggulan bersaing bagi perusahan bila produk yang dihasilkan relatif sama dengan produk yang dihasilkan pemasok industri lainnya? Biaya rendah memungkinkan perusahaan untuk bersaing pada harga yang dibutuhkan. Hal itu dapat pula menimbulkan laba yang kemudian dapat diinvestasikan kembali untuk memperbaiki kualitas produk dan menjulanya dengan harga yang sama dengan rata-rata industri.<br /><br />Yang kedua adalah diferensiasi. Sekadar menjadi berbeda bukanlah sebuah strategi diferensiasi. Kunci dari strategi diferensiasi yang sukses adalah menjadi unik yang dihargai para pembeli. Bila pembeli membeli fitur keunikan tersebut dengan harga tinggi dengan biaya terkendali, maka harga premium akan mengantar perusahaan pada laba yang tinggi.<br /><br />Strategi diferensiasi yang sukses mengurangi kemungkinan terjadinya persaingan head to head seperti yang terjadi pada industri komoditas. Bila pemasok meningkatkan harga maka pelanggan loyal dengan sensitifitas harga yang rendah akan menerima kenaikan harga yang dilakukan. Sementara, loyalitas pelanggan berlaku sebagai penghalang bagi masuknya pendatang baru dan mencegah produk subtitusi untuk memenangkan pertempuran.<br /><br />Yang ketiga adalah fokus. Strategi fokus merupakan seleksi dari sebuah segmen atau kelompok segmen-segmen di industri yang dapat memenuhi lebih baik kebutuhan dari segmen tersebut ketimbang pesaing yang lain. Strategi focus dapat berupa produsen yang mampu melayani dengan biaya rendah di segemen tersebut atau melakukan diferensiasi di segmen tersebut sehingga memungkinkan perusahaan untuk memasang harga premium.Sehingga perusahaan dapat bersaing di medan yang luas (melayani banyak segmen) atau di medan yang sempit (fokus pada segmen tertentu).<br /> <br />Sementara itu, positioning yang menurut Michael E. Porter pernah menjadi jantung strategi saat ini tidak digunakan karena dianggap terlalu statis dalam menghadapi pasar yang begitu dinamis dan teknologi yang begitu cepat berubah. Menurut dogma baru tersebut, para pesaing dengan cepat meniru setiap posisi pasar dan keunggulan bersaing sehingga keunggulan hanya bersifat temporer. (Michael E. Porter, “What Is Strategy?”, Harvard Business Review, November-Desember 1996, hlm. 61-78)<br /><br />Dalam membahas strategi bisnis maka ketiga pemain utama harus dilibatkan. Menurut Kenichi Ohmae ada tiga pemain utama yakni perusahaan itu sendiri (Company), pelanggan (Customer) dan pesaing (Competitor). Ketiga pemain 3C tersebut kemudian disebut sebagai Strategic Triangle.<br /><br />Dalam konteks Strategic Triangle maka tugas para penyusun strategi adalah untuk meraih kinerja superior relatif terhadap persaingan dengan faktor-faktor yang merupakan kunci sukses berbisnis. Sehingga akhirnya startegi bisnis dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni :<br /><br />1. Customer Based Strategies<br />2. Coporate Based Strategies<br />3. Competitor Based Strategies<br /><br />Dalam perkembangannya kemudian muncul C yang keempat yakni Change atau perubahan. Perubahan itu menyangkut teknologi,peraturan pemerintah maupun politik. Hal itu amat berpengaruh sekali terhadap peta persaingan di pasar.<br /> <br />Di samping itu, setiap organisasi harus memiliki alasan yang jelas mengapa mereka mengembangkan produk baru dan bagaimana hal tersebut sesuai dengan visi strategisnya. Oleh karena itu, organisasi dituntut untuk melakukan studi kelayakan sebelum mereka mengembangkan produk baru.<br /><br />Ada dua kekuatan yang memotivasi organisasi untuk mengembangkan produk baru. Yakni kekuatan internal dan kekuatan eksternal.<br /><br />Kekuatan internal terdiri dari antara lain meningkatnya penjualan atau laba, rasa optimisme dalam melakukan riset dan pengembangan, untuk mengembangkan keunggulan biaya, menjaga kepemimpinan pasar serta untuk menciptakan citra sebagai perusahaan yang inovatif.<br /><br />Sedangkan kekuatan eksternal terdiri dari munculnya peraturan baru, daur hidup produk telah mencapai kematangan, perubahan teknologi yang cepat, berubahnya kebutuhan konsumen serta meningkatnya kompetisi lokal dan global.<br /><br />Bila kedua kekuatan tadi merupakan lingkaran maka keduanya bukan merupakan dua lingkaran yang terpisah melainkan dua lingkaran yang saling bersinggungan sehingga membentuk bidang irisan. Semakin besar bidang irisan yang terjadi maka semakin besar peluang bagi produk tersebut meraih sukses di pasar.<br /><br />Tingkat Kebaruan Produk<br /><br />Setelah motivasi untuk mengembangkan produk baru menjadi jelas maka langkah selanjutnya organisasi perlu mengevaluasi kebaruan dari produk tersebut. Paling tidak ada enam kategori kebaruan produk yakni :<br /><br />1. Benar-benar produk baru di dunia. Produk tersebut merupakan terobosan baru dan menciptakan pasar yang benar-benar baru di pasar serta mampu mengubah perilaku konsumen. Contohnya adalah Walkman dari Sony dan Internet.<br />2. Lini produk baru. Produk tersebut baru bagi perusahaan tetapi tidak baru bagai pasar atau merupakan langkah pertama bagi organisasi untuk menembus pasar yang sudah mapan. Misalnya Kartu Kredit Visa Makro, Kartu Belanja Carrefour.<br /><br />3. Penambahan terhadap lini produk yang telah ada. Produk tersebut melakukan ekstensi dari produk yang telah ada. Misalnya, Pemanis Rendah kalori Tropicana Rasa dan Diet Coke. <br /><br />4. Perbaikan untuk merevisi produk yang telah ada. Produk yang diciptakan lebih dalam hal kinerja dan nilainya untuk menggantikan produk yang telah ada. Contohnya dalah Irex Max dalam bentuk kapsul untuk menggantikan Irex Classix dalam kemasan sachet dan berbentuk cairan.<br /><br />5. Repositioning. Produk yang disasarkan kepada segmen baru konsumen atau diposisikan untuk penggunaan atau aplikasi baru. Contohnya adalah bagaimana Kijang Innova ditampilkan untuk mengganti Kijang Kapsul.<br /><br />6. Pengurangan biaya. Produk yang menyediakan manfaat yang sama dengan menawarkan biaya lebih rendah. Contohnya adalah maskapai penerbangan Air Asia dan Lion Air.<br /><br />Identifikasi Kebutuhan Konsumen<br /><br />Kegiatan selanjutnya adalah mengidentifikasi pasar yang menawarkan peluang besar bagi organisasi. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan seperti ,” Seberapa baik produk sesuai untuk memenuhi kebutuhan pasar?”<br /><br />Kebutuhan pasar dapat dibagi lagi menjadi dua yakni kebutuhan yang sudah ada dan kebutuhan laten. Kebutuhan yang ada lebih mudah diekspresikan. Metode riset pasar tradisional seperti in-depth-interview, FGD ( focus group discussion ) dan survei pasar dapat digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan baru dan untuk mengetes konsep produk baru.<br /><br />Sementara, kebutuhan laten adalah kebutuhan yang belum ada sampai saat ini sehingga tak mampu diekspresikan konsumen. Sebagai contoh, konsumen tidak melihat adanya kebutuhan akan adanya Walkman sampai Sony memperkenalkannya ke pasar. Pasien dengan problem disfungsi ereksi (DE) memiliki kebutuhan akan obat DE seperti Viagra atau Cialis tetapi mereka kurang nyaman untuk menyampaikan melalui survei paemasaran yang konvensional. Konsekuensinya, memperkirakan besarnya pasar potensil bagi obat DE tidak mudah bila hanya menggunakan teknik riset pemasaran tradisional.<br /><br />Konsumen biasanya gagal untuk mengartikulasikan beberapa kebutuhan laten dan menguji konsep produk baru. Kegagalan konsumen itu disebabkan mereka kurang mengenal dengan akrab fitur dan manfaat dari produk baru. Hal ini benar untuk produk berteknologi tinggi. Praktisi menganggap menyelenggarakan riset pasar standar untuk produk-produk tersebut kurang bermanfaat. Jadi, ada sebuah kebutuhan dengan menunjukkan kepada mereka sebuah prototype atau menunjukkan demonstrasi actual adari sebuah produk. Kuncinya adalah untuk memperoleh masukan yang memadai untuk merancang strategi market driving untuk menghasilkan produk baru di dunia produk.<br /><br />Pemicu produk baru lainnya adalah customer driven ketika kebutuhan tersebut diekspresikan oleh konsumen. Bagi beberapa produk, riset pasar dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dari harapan pelanggan serta kepuasan mereka dengan yang mereka tawarkan.<br /><br />Tujuan Riset Awal Produk Baru<br /><br />Riset awal produk baru dimaksudkan untuk menyediakan (1) informasi bagi manajemen tentang kondisi aktual perusahaan atau pasar aktualnya, (2) informasi tentang pengguna produk saat ini dan pengguna potensial yang diproduksi perusahaan.<br /><br />Riset pemasaran menyediakan jawaban atas pertanyaan sebagai berikut :<br /><br />- Berapa orang yang akan membeli produk saya?<br />- Berapa banyak mereka akan membelinya?<br />- Siapa saja pesaing dari produk saya?<br />- Seberapa kuat mereka?<br />- Apakah mereka akan menang atau kalah?<br />- Produk apa saja yang dibeli dari kita atau mereka?<br />- Bagaimana respon produk kita terhadap promosi?<br />- Apakah produk kita memiliki kekuatan<br /><br />Riset pemasaran menyajikan :<br /><br />Ukuran dan kondisi demografis pasar seperti usia, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan dan status sosial dari konsumen.<br />Kondisi distribusi dan kebutuhan industri, komersial , pemerintah dan pemerintahan lokal pengguna produk, perqalatan dan jasa yang dipasarkan perusahaan.<br />Lokasi geografis dari konsumen actual dan potensial<br />Pangsa pasar yang dikuasai pera pesaing utama<br />Kondisi saluran distrbusi yang dilayani pasar<br />Kondisi ekonomi dan tren lingkungan lainnya yang berpengaruh di pasar.<br /><br />Riset produk<br /><br />Testing konsep produk<br />Testing produk<br />Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan persaingan dibandingkan dengan para pesaing.<br />Investigasi tentang penggunaan alternatif dari produk yang sudah ada<br />Gap analysis – mengindentifikasikan area yang ada di pasar yang dapat digarap oleh perusahaan<br /><br />Riset Motivasi<br /><br />Sikap dan reaksi terhadap atribut produk<br />Nilai-nilai yang dipegang pelanggan yang berpengaruh dan memotivasi mereka<br /><br />Teknik-Teknik Riset Pemasaran<br /><br />Teknik –teknik yang biasa dilakukan dalam riset pemasaran adalah :<br /><br />Desk research<br />Field research<br />Qualitatative research<br /><br />Di bawah ini disajikan contoh penerapan studi kelayakan dan riset pemasaran untuk kategori obat-obatan farmasi sebagai berikut :<br /><br /><br />Kelayakan Launching<br />Berdasarkan Kategori Obat-obatan Farmasi<br /><br /> Pangsa Pasar Ukuran Pasar<br /> <br />Kategori 1999 2002 1999<br /><br />Antacid 85% 85% 130 M<br />Cold 40% 55% 360 M<br />Cough 48 % 60 % 240 M<br />Vitamin 11 % 30 % 275 M<br />Analgesic 11 % 15 % 320 M<br />Anti Fungal 45 % 50 % 114 M<br />Energy Drink 50 % 60 % 500 M<br />Anti Diare 80 % 80 % 56 M<br />Enzym 5 % 20 % 50 M<br />Anti Puritic 0 % 5 % 50 M<br />Anti Septic 0 % 5 % 50 M<br />Phytopharmaca 0 % 10 % 750 M<br />Anti Rheumatic 0% 0% 100 M<br /><br /><br />Perhitungan Kelayakan Launching<br /><br />Sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut untuk produk baru anti “Ketombe” dipandang dari sisi internal dan eksternal perusahaan sehingga dapat diambil kesimpulan akhir mengenai bagaimana potensi dari produk tersebut. Apakah akan diluncurkan atau tidak di pasar?<br /><br />Kriteria penilaian tersebut berdasarkan skor sebagai diatur di bawah ini :<br /><br />(-2) artinya sangat buruk<br />(-1) artinya buruk<br />(0 ) artinya rata-rata atau sedang<br />(+1) artinya baik<br />(+2) artinya sangat baik<br /><br />Penilaian dari hasil evaluasi produk “Sampo Anti Ketombe” berdasarkan faktor-faktor di atas dengan nilai bobot maksimum +150.<br /><br />___________________________________________________<br />-150 0 75 150<br />(_____________________)<br /> Buruk (______________) <br /> Sedang (________________)<br /> Baik<br /><br /><br /><br /><br /> Bobot Nilai<br /> Maksimal<br /><br />A. Pertumbuhan Pasar<br />-Tren Nilai Penjualan 5 10<br />-Prospek Jangka panjang 5 10<br /><br />B. Ukuran Pasar 10 20<br /><br />C. Stabilitas<br />-Faktor Ekonomi 5 10<br />-Musiman 5 10<br /><br />D. Ketrampilan Pemasaran / Pesaing<br />-Penetrasi Merek 5 10<br />-Usaha Pemasaran 5 10<br />-Diferensiasi 5 10<br /><br />E. Citra Perusahaan Kita 5 10<br /><br />F. Produksi <br />-Teknologi 5 10<br />-Harga produk 5 10<br /><br />G. Perlindungan Produk 5 10<br /><br />H. Penjualan dan Distribusi<br />-Tenaga Penjual 5 10<br />-Distribusi 5 10<br /><br />Total 150<br /><br /><br />EVALUASI PRODUK BARU<br /><br />1. PERTUMBUHAN PASAR SKOR BOBOT CHOOSE VALUE<br /><br />A. Tren Nilai Penjualan 5 0 0<br /><br />-Pasar sedang menurun -2 <br />-Pasar statis -1<br />-Tumbuh sebanding dg pertmbh pend 0<br />-Tumbuh lebih besar dr pertmbh pend 1<br />-Tumbuh sangat pesat 2<br /><br /><br />B. Prospek Jangka Panjang 5 1 5<br /><br />-Pasti menurun -2<br />-Mungkin akan menurun -1<br />-Kelihatannya Statis 0<br />-Mungkin berkembang 1<br />-Pasti berkembang 2<br /> <br />2.UKURAN PASAR<br />Besarnya Pasar Saat Ini 10 2 20<br /><br />-Kurang dari Rp 10 miliar -2<br />-Antara Rp 10 s/d Rp 20 miliar -1<br />-Antara Rp 20 s/d Rp 50 miliar 0<br />-Antara Rp 50 s/d Rp 100 miliar 1<br />-Di atas Rp 100 miliar 2<br /><br />3.STABILITAS<br /><br />A. Faktor Ekonomi 10 2 20<br /><br />-Sangat peka thp kondisi ekonomi -2<br />-Cukup peka -1<br />-Tidak begitu peka 0<br />-Mantap yang beralasan 1<br />-Permintaan terus meningkat 2<br /><br /><br />B. Musiman 5 2 10<br /><br />-Penjualan terpusat pada 1 bln -2<br />-Terpusat pd musim tertentu -1<br />-Kadang2 bersifat musiman 0<br />-Pengaruh musiman sedang 1<br />-Tidak ada pengaruh musiman 2<br /><br />4.KETRAMPILAN PEMASARAN/KOMPETITOR<br /><br />A. Penetrasi Merek 5 0 0<br /><br />-Didominasi 2-3 merek utama -2<br />-Didominasi 1 merek & pengmbng -1<br />-Terbagi di antara banyak merek 0<br />-2 atau 3 merek dg unsur kuat 1<br />- Pasar ke arah banyak merek 2<br /><br />B. Usaha Pemasaran 5 -1 -5<br />-Sangat Tinggi -2<br />-Tinggi -1<br />-Rata-rata 0<br />-Rendah 1<br />-Sangat rendah 2<br /><br /><br />C.Diferensiasi 5 -1 -5<br /><br />-Sedikit prospek utk klbh produk -2<br />-Produk belum punya prospek pasti -1<br />-Cukup prospek utk sedikt klbh 0<br />-Cukup prospek utk klbh penting 1<br />-Prospek cerah klbh produk penting 2<br /><br />5. CITRA PERUSAHAAN<br /><br />Citra Perusahaan Kita 10 -1 -10 <br /> <br />-Berbeda total dg bisnis yg ada -2<br />-Berbeda total dg produk utama -1<br />-Ada persamaan dg produk lama, 0<br />tetapi tak telalu dekat<br />-Dg produk lama persamaan cukup 1<br />dekat ttp penggunaan bisa slg<br />bersaing<br />-Sangat konsisten dg produk lama, 2<br />ttp tidak saling bersaing<br /><br />6. PRODUKSI<br /><br />A. Teknologi 5 2 10<br /><br />-Teknologi sangat berbeda, prsh -2<br />tidak berpengalaman<br />-Tidak terlalu beda teknologi, tdk -1<br />sesuai dg perusahaan<br />-Teknologi berbeda tapi akrab 0<br />-Teknologi sama 1<br />-Teknologi sama, kapasitas tersedia 2<br /><br /><br />B. Harga Pokok (Manufacturing Cost) 5 2 10<br /><br />-Jauh lebih mahal -2<br />-Sedikit lebih mahal -1<br />-Kurang lebih sama 0<br />-Lebih murah sedikit 1<br />- Jauh lebih murah 2<br /><br />7. PERLINDUNGAN PRODUK<br /><br />Perlindungan Produk 5 1 5<br /><br />-Mudah ditiru siapa saja -2<br />-Mudah ditiru prsh besar -1<br />-Dapat ditiru ttp sulit 0<br />-Hanya prsh besar yng bisa 1<br />meniru dg bbrp kesulitan<br />-Hny prsh besar ttp dengan 2<br />banyak kesulitan<br /><br />8. PENJUALAN DAN DISTRIBUSI<br /><br />A.Tenaga Penjual 5 2 10<br /><br />-Tng penjual tidak sesuai -2<br />-Tng penjual lebih buruk dr -1<br /> pesaing<br />- Kurang lebih sebanding dg 0<br /> pesaing<br />- Daya saing lebih kuat 1<br />- Daya saing jauh lebih kuat 2<br /><br />B. Distribusi 5 2 10<br /><br />-Saluran distribusi amat beda -2<br />-Dituntut pengembangan -1<br />-Beberapa pengembng diperlukan 0<br />-Sedikit pengembangan diperlukan 1 <br />- Pola distribusi sangat cocok 2<br /><br /><br /> <br />NILAI KRITERIA<br /><br />0 s/d –150 Buruk (launching akan mengalami<br /> kegagalan)<br />0 s/d 75 Sedang ( akan berhasil namun tidak<br />secepat apa yang diharapkan)<br />75 s/d 150 Baik (launching produk pasti akan<br />berhasil dalam waktu relatif singkat)<br /><br />KESIMPULAN<br /><br />Dengan nilai sebesar 75 berarti produk siap diluncurkan dengan hasil yang sedang (akan berhasil namun tidak secepat apa yang kita harapkan) dengan pertimbangan sebagi berikut :<br /><br />- Tren nilai penjulan yang sebanding dengan pertumbuhan penduduk<br />- Keterampilan pemasaran pesaing yang berpengalaman<br />- Citra perusahan kita yang bergerak dalam besaran yang berlainan<br />- Loyalitas pelanggan terhadap produk pesaing cukup tinggi<br /><br />2. Dari dasar-dasar di atas maka diputuskan untuk membuat produk-produk yang memiliki konsep gabungan.<br /><br />- Produk sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pasar, yaitu efektif dapat menyembuhkan ketombe dalam waktu singkat.<br /><br />- Bentuk produknya seperti hair tonic yang bila dipakai pada rambut tidak lengket dan harum baunya.<br /><br />- Harga yang cukup terjangkau untuk masyarakat SES CDE dengan harga per sachet Rp 100<br /><br />- Distribusi produk bisa menjangkau retailer (toko kecil maupun warung-warung)<br /><br /><br />KASUS SUKSES MENEMBUS PASAR FILIPINA<br /><br />Salah satu sukses PT Bintang Toedjoe dalam menembus pasar Filipina merupakan hasil dari penerapan studi kelayakan dan riset pemasaran yang dilakukan dengan baik.<br /><br />Ang puro purong lakas. Kalimat berbahasa Tagalok yang menjadi tagline ExtraJoss di radio-radio Manila - Filipina itu tidak pernah hilang dari ingatan saya. Kalimat yang artinya kira-kira, “Ini biangnya buat apa botolnya” itulah –salah satu – yang membuat ExtraJoss kini menjadi raja minuman bernergi dalam sachet di Filipina. Dalam setahun, ExtraJoss menyaingi Lipovitan dan Red Bull dalam botol yang menguasai pasar minuman berenergi selama beberapa tahun.<br /><br />Manila merupakan debut pertama ExtraJoss masuk ke pasar regional. Kenapa Manila yang dipilih, banyak alasan yang dipertimbangan. Tahun 2001, ExtraJoss mengalami booming atau permintaan yang luar biasa. Ini mendorong manajemen Bintang Toedjoe, produsen ExtraJoss, meningkatkan kapasitas pabriknya. Mengantisipasi kelebihan kapasitas, manajemen Bintang Toedjoe (BT) memutuskan untuk memperluas pasar dengan masuk ke pasar regional dengan focus pada satu negara sebagai tahap awalnya.<br /><br />Sejatinya, ada beberapa negara yang dipertimbankan pada waktu itu,yakni Malaysia, Singapura, Myanmar, Vietnam, Thailand atau Filipina. Masing-masing punya keunggulan dan kelemahan. Malaysia misalnya, pada waktu itu, ExtraJoss bisa dijumpai di beberapa sentra pemukiman, terutama yang banyak dihuni oleh orang Indonesia yang mencari nafkah disana.<br /><br />Beberapa perusahaan distributor minta kepada BT untuk menggarap serius pasar Malaysia. Namun manajemen BT melihat pasar Malaysia tidak terlalu besar. Konsumen ExtraJoss nantinya adalah orang-orang Indonesia juga, sementara orang Malaysia yang kebanyakan pekerja kantoran akan sangat jarang mengkonsumsi ExtraJoss. Mereka bukan target market ExtraJoss.<br /><br />Ada pemikiran untuk masuk ke pasar Thailand dengan pertimbangan orang Thailand sudah biasa mengkonsumsi minuman berenergi. Namun BT juga melihat bahwa pasar Thailand tidak terlalu besar untuk ExtraJoss. Selain sudah dikuasai secara kuat oleh Kratingdaeng dalam kaleng, faktor politik karena M150 dan Kratingdaeng dan Shank memblok izin masuk ExtraJoss, membuat lapisan ekonomi yang bisa dibidik ExtraJoss makin sempit. Selain itu, bea masuknya juga relative tinggi.<br /><br />Vietnam mempunyai pasar dengan strata ekonomi yang mirip dengan Indonesia. Namun manajemen BT melihat bahwa pasar minuman berenergi Vietnam yang dikuasai Red Bull masih kurang menarik. Selain bea masuknya juga tinggi, Vietnam masih didominasi para petani yang tinggal di pedesaan. Mereka memang pasar potensial buat ExtraJoss, namun karena lokasi mereka, membuat biaya distribusi menjadi mahal. Kondisi Myanmar juga hampir mirip, bahkan manajemen BT melihat pasar Myanmar lebih kecil dari Vietnam karena jumlah penduduknya lebih rendah.<br /><br />Yang terakhir adalah Filipina. Manajemen BT waktu itu melihat karakter pasar Filipina hampir mirip dengan Indonesia. Dari sisi strata ekonomi sama, jumlah penduduknya besar, dan yang terpenting, Filipina--- khususnya – Manila banyak dihuni oleh pekerja jalanan (blue colar - streetfighter). Mereka inilah target market ExtraJoss sebenarnya. Sama seperti Jakarta, jalanan di Manila didominasi oleh angkutan umum atau yang lebih dikenal dengan Jeepney dan taksi. Jumlahnya lebih besar daripada Mikrolet di Jakarta, dan mereka, pekerja bangunan dan streetfighter lainnya adalah pasar potensial.<br /><br />Sebelum masuk, BT mengadakan focus group discussion di Manila. Respondennya, salah satunya, adalah sopir jipney. Hasilnya; rasa, kandungan, dan kemasan ExtraJoss diterima responden. Hanya teks dalam kemasan saja yang diganti dengan bahasa Inggris. Lainnya tidak ada perubahan. Harganya 5 peso atau sekitar Rp 1000 per sachet. Ini jauh lebih murah dari harga Lippovitan kaleng dan Red Bull kaleng -- penguasa pasar energy drink di Filipina – yang harganya 20-25 peso per kaleng.<br /><br />Dengan tagline Ang puro purong lakas, iklan-iklan ExtraJoss mulai diperdengarkan lewat radio dan TV di Manila. Iklannya dibuat di Manila, oleh pekerja iklan Filipina, dan menggunakan bintang iklan dari Filipina. Stiker besar ditempelkan di ribuan Jeepney, dan sekitar 200 ribu sachet ExtraJoss dibagikan gratis sebagai sampling selama beberapa bulan. Saat ini, berbeda dengan pola yang dilakukan ExtraJoss saat pertama launching. Kalau di Indonesia, ExtraJoss diawali dari kota-kota kecil, kota-kota dan masuk Jakarta, di Filipina langsung menggarap dan berkonsentrasi di Manila.<br /><br />Dulu, waktu baru pertama keluar ExtraJoss masih belum diuji secara benar karakternya. Ketika akan masuk ke pasar Filipina, manajemen BT sudah yakin benar bisa menerbos pasar Manila. Ibaratnya, Manila menjadi pertaruhan. Kalau gagal di Manila berarti akan gagal pula di wilayah Filipina lainnya. Distributornya juga cuma satu sehingga manajemen BT mudah memantau dan mengontrolnya. <br /><br />Pada 2002, penjualan masih rendah. Namun pada 2003 target Rp 10 miliar yang dipatok manajemen terlampui. Itu sebabnya BT mengadakan semacam family tour ke Bali. Pada 2004, penjualan meningkat sehingga mencapai angka Rp 40 miliar dan tercapai. Sekali lagi ada family tour. Kali ini ke Bangkok. Nah, tahun ini saya dengar manajemen BT mematok angka Rp 80 miliar. Pasarnya pun mulai diperluas sehingga mampu mengcover seluruh Filipina. <br /><br />Keberhasilan ExtraJoss masuk ke pasar Manila tersebut telah memberikan banyakpelajaran berharga. Pertama, dari sisi branding, kekuatan diferensiasi produk sehingga menciptakan kategori baru yang dikomunikasikan secara efektif mampu menembus pasar yang telah dikuasai oleh suatu merek Kedua, pertimbangan yang harus dipikirkan baik-baik ketika masuk ke pasar regional adalah, adanya kesempatan, kemudahan untuk masuk ke pasar yang baru, ketersediaan resources yang memadai, dan yang terpenting adalah kesanggupan untuk melakukan edukasi. ***<br /><br /> <br /> </div>SIMON JONATANhttp://www.blogger.com/profile/05617154832802540814noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6315223576022422156.post-83753852787822630992006-12-18T03:13:00.000-08:002006-12-18T03:19:42.279-08:00SUDHAMEK AWS, PRESIDEN DIREKTUR & CEO PT GARUDAFOOD<div align="justify"><br /><strong><em><span style="font-size:130%;">TERUSLAH BERGERAK DAN KAU AKAN MEMENANGKAN PERSAINGAN</span></em></strong></div><div align="justify"><strong><em><span style="font-size:130%;"></span></em></strong> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Cikal bakal Garudafood semula PT Tudung yang bergerak di bisnis tepung tapioka. Perusahaan tersebut dirintis Darmo Putro, ayah Sudhamek AWS.<br /><br />Pada 1979 perusahaan yang awalnya berlokasi di Pati, Jawa Tengah itu kemudian berubah nama menjadi PT Tudung Putrajaya (TPJ) yang bergerak di bisnis kacang garing tanpa merek. Pada awal 1987, TPJ mulai menjual hasil produksi kacangnya dengan merek Kacang Garing Garuda.<br /><br />Bisnis utama Garudafood adalah kacang kulit oven (roasted peanut). Bahkan, kacang Garuda kemudian menjadi salah satu backbone bisnis Garudafood. Sukses dengan kacangnya, membuat Garudafood masuk ke bisnis makanan secara lebih luas antara lain terjun ke industri biskuit dan jeli dengan menciptakan kategori-kategori produk baru yang diklaim mempunyai keunggulan dan keunikan tersendiri dibandingkan para pesaingnya. Demi memperkokoh jaringan distribusi dan pasokan produk Garudafood membuat sendiri perusahaan distribusi dan divisi plantation tanaman kacang.<br /><br />Berbeda dengan enam kakak lelakinya (mendiang Darmo Putro memiliki 7 anak laki-laki dan 4 perempuan) yang langsung dilibatkan dalam bisnis ayahnya. Sudhamek justru memilih karier di perusahaan milik orang lain setelah lulus dari perguruan tinggi. Selama sebelas tahun pria kelahiran Rembang, 20 Maret 1956 tersebut malang melintang sebagai profesional di berbagai perusahaan, mulai dari PT Gudang Garam (dari tahun 1983-1990 dengan posisi terakhir sebagai assistant to president director), PT Trias Sentosa Tbk (1990-1991 sebagai presdir), Djuhar Group (1991-1994 sebagai executive director) sampai PT Posnesia Stainless Steel Industry (1994 -1997 sebagai vice president). Baru pada 1994, dia dipercaya sebagai CEO Garudafood.<br /><br />Ketika krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998 dan banyak perusahaan di Asia, Garudafood mampu melewati masa tersebut dengan selamat. Menurut Sudhamek AWS pertumbuhan perusahaan malahan mencapai rata-rata 30 persen per tahun.<br /><br />Kacang Garuda dengan berbagai varian kini menguasai 70 persen pangsa pasar. Demikian pula dengan produk jelly yang menguasai 60 persen pangsa pasar. Cukup banyak produk baru yang diluncurkan Garudafood seperti Gerry Coklut, Okky Jelly Drink, Mr. Bean, Nasi Instan dan bahkan Garudafood mulai merambah bisnis minuman teh dalam kemasan dengan mengeluarkan Mountea. Banyak produk baru Garudafood yang meraih sukses di pasar. Ting-Ting, misalnya, berhasil meraih titik impas (BEP) dalam waktu dua tahun saja.<br /><br />Berikut petikan hasil wawancara dengan Sudhamek AWS seputar masalah peluncuran produk baru :<br /><br /><strong><em>Bagaimana sebuah produk baru diluncurkan?<br /><br /></em></strong>New Product Launching (NPL) antara satu perusahaan dengan perusahaan lain esensinya kurang lebih sama. Ada prosedur standarnya. Yang membedakan adalah apa saja yang dikerjakan secara detil dalam menjalani prosedur NPL itu. Secara umum peluncuran suatu produk biasanya dimulai dari penyusunan Product Concept Development (PCD), lengkap dengan penjabarannya yang logis, hingga sampai pada tahapan komersialisasi.<br /><br />Demikian pula di Garudafood, peluncuran produk baru dilakukan dengan mengacu pada standar prosedur tertentu. Tentunya kami di sini memiliki detil aktivitas serta parameter yang berbeda dengan apa yang dikerjakan perusahaan lain dalam menjalani prosedur tersebut. Kami punya keyakinan, apa yang dikerjakan, bagaimana mengerjakannya itu akan menentukan seperti apa kualitas produk yang dihasilkan pada akhirnya nanti. Sistem dan Prosedur itu jelas sangat membantu supaya orang bekerja secara sistematis, efisien, dan efektif. Meskipun demikian pada akhirnya faktor yang sangat menentukan adalah tetap saja faktor kualitas manusianya.<br /><br /><strong><em>Apa saja syarat yang harus dipenuhi agar sebuah produk bisa sukses?<br /><br /></em></strong>Tentu ada beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi agar sebuah produk bisa mencapai keberhasilan. Yang patut diingat, bisnis itu bukan hanya aktivitas menjual barang dan jasa, akan tetapi juga bagaimana sebuah produk atau jasa mampu memberikan nilai tambah (added value) kepada konsumennya. Konkretnya, yang harus diukur dalam NPL itu adalah bagaimana produk yang kita jual bisa memberi nilai tambah sekaligus memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen?<br /><br />Ingat, yang akan ditawarkan kepada konsumen adalah sebuah nilai tambah, bukan sekadar nilai saja. Karena kalau nilai itu hanyalah perbandingan antara kualitas produk dengan biaya yang harus dikeluarkan konsumen. Sementara nilai tambah bisa ditarik lebih jauh lagi, yang dikombinasikan dengan keberadaan kompetitor.<br /><br />Makanya sebelum mulai meluncurkan suatu produk, terlebih dulu kita harus mengidentifikasi siapa saja yang menjadi kompetitor kita. Kompetitor di sini maksudnya bukan hanya mereka yang menjual produk yang sama dengan produk kita atau lazim disebut kompetitor langsung (direct competitior) . Akan tetapi kompetitor dalam arti lebih luas lagi.<br /><br />Mungkin saja dalam satu jenis produk di pasar tertentu tidak ada direct competitor, dan yang ada hanya indirect competitor. Namun hal tersebut tetap harus kita perhatikan juga. Karena bisa saja dalam proses identifikasi kita bisa menemukan adanya kompetisi. Misalnya di sebuah toko atau warung tenyata sikat gigi juga bisa menjadi kompetitor produk kami. Mengapa demikian? Karena kompetitor itu berada pada level pedagangnya. Setiap pedagang khan punya modal kerja yang terbatas. Sehingga ketika kami meluncurkan sebuah produk baru, maka si pedagang akan menghadapi problem of choice. Dia dipaksa membuat keputusan merchandising yang tepat. Artinya produk apa saja yang harus mereka beli. Salah satu dasar pengambilan keputusan tersebut biasanya adalah soal keuntungan (margin). Lebih menguntungkan mana berjualan sikat gigi dengan berjualan biskuit, misalnya. Di sini bisa dimengerti, ternyata sikat gigi adalah kompetitor juga. Makanya dalam mengidentifikasi kompetitor jangan menggunakan kerangka yang sempit. Kalau berjualan produk kacang, misalnya, yang diidentifikasi sebagai kompetitor jangan hanya mereka yang bermain di produk kacang saja. Cermati pula produk lain yang menjadi indirect competitor.<br /><br />Di samping kecermatan dalam mengidentifikasi kompetitor, perlu di-address pula, nilai tambah macam apa yang akan kita berikan? Lebih konkretnya, dari sudut value chain management, nilai tambah yang akan kita berikan tersebut akan dinikmati pada mata rantai yang mana? Ini esensi dari nilai tambah yang ingin kita munculkan pada produk yang akan kita luncurkan. Makanya bagi kami upaya menciptakan nilai tambah bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Pertanyaannya, kalau kita bisa memberikan atau menciptakan nilai tambah pada produk kita, apakah kompetitor tidak bisa memberikan hal yang sama? Apakah kompetitor tidak akan melakukan “counter assault” atau serangan balik kepada kita? Ini bukan hal yang mustahil. Pada dua atau tiga bulan yang lalu mungkin produk yang kita luncurkan mempunyai nilai tambah, namun jangan kaget kalau tiba-tiba dimentahkan oleh produk baru yang kemudian diluncurkan kompetitor. Ini yang seringkali membuat peluncuran produk yang awalnya berhasil, namun tiba-tiba tersandung oleh hal-hal semacam itu. Tapi itulah dinamika sebuah kompetisi yang selalu menuntut pengusaha untuk tidak pernah tinggal diam berpuas diri. “Teruslah bergerak, dan kau akan memenangkan persaingan”.<br /><br />Demikian yang sering saya katakan. Kata-kata tersebut sesungguhnya adalah esensi dari sebuah perubahan. Kompetisi itu sendiri menuntut para pelaku bisnis untuk terus bergerak. Boleh diibaratkan bisnis itu adalah sebuah balap sepeda motor dan bukan pertandingan tinju. Artinya, starting point dalam segala tindakan adalah diri sendiri (intern) dan bukan faktor-faktor eksternal. Betul business environment, utamanya competitior, memang harus sangat diperhatikan. Tapi mereka bukanlah pangkal tolak tindakan kita.<br /><br /><strong><em>Siapa yang paling bertanggung jawab dalam NPL?<br /><br /></em></strong>Di perusahaan kami hal itu tergantung pada jenis produk yang akan diluncurkan. Jika produk yang akan diluncurkan termasuk dalam kategori produk baru, maka CEO akan ikut terlibat di dalamnya. Karena meluncurkan New product category itu pada dasarnya memasuki sebuah bisnis baru. Tapi kalau NPL itu dalam arti item baru dalam product line yang sama, maka itu kami serahkan ke brand manager. Hal itu terjadi sejak 3-4 tahun belakangan ini. Saya sekarang lebih banyak terlibat ke dalam fungsi development, yaitu business development, people development, termasuk culture development dan system development.<br /><br /><strong><em>Apakah berkurangnya keterlibatan Anda dalam banyak hal disebabkan sudah jalannya sistem yang dibangun di Garudafood?<br /><br /></em></strong>Kami melihat organisasi sales sudah semakin established. Ini semua sengaja dilakukan sebagai bagian dari proses melepaskan ketergantungan organisasi terhadap figur. Kalau saya sebagai CEO masih terlalu banyak ikut mewarnai, maka proses pembangunan sistem tidak akan pernah terjadi.<br /><br />Ke dalam saya selalu menekankan bagaimana agar seorang brand manager di-empower supaya mereka berfungsi sebagai business manager. Sehingga mereka bisa berpikir utuh, bahwa bisnis itu tidak hanya dealing dengan marketing function tapi juga how to run a business. Running business dengan running satu fungsi saja (marketing) itu jelas berbeda. Kalau itu bisa jalan, maka para brand manager akan menjadi “CEO” di tempatnya masing-masing. Tentunya mereka tetap di-back up oleh perusahaan. Dan on top of that saya masih ikut mengamati. Pada dasarnya kewenangan sepenuhnya ada di tangan masing-masing brand manager tersebut. From A to Z semuanya ada pada mereka, budget pun di tangan mereka. Boleh dibilang di perusahaan lain sangat langka seorang profesional diberikan keleluasaan seperti yang kami lakukan di sini.<br /><br /><strong><em>Bisa Anda ceritakan launching product baru yang kemudian sukses dan mencuat?</em></strong></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Contohnya sebetulnya cukup banyak, salah satunya Okky Jelly. Okky ini sebuah fenomena yang sangat menarik khususnya menyangkut entry point-nya. Dalam bisnis, entry point itu penting. Sehingga ketika melakukan NPL, harus diyakini kita masuk melalui pintu yang benar. Ibarat mau menyerang kubu musuh, jangan sampai kita masuk ke pintu yang justru penjagaannya sangat kuat.<br /><br />Entry point dalam bisnis itu konkretnya adalah bagaimana kita menciptakan point of difference dari kompetitor. Pada waktu masuk di bisnis jelly, kita pelajari jelly itu bisnisnya seperti apa. Setelah mendapatkan profil itu kita memutuskan harus menciptakan “sungai baru”. Ketika ada kekhawatiran dari para pemain lama di bisnis jelly bahwa masuknya kelompok Garudafood yang lebih dulu dikenal dengan Kacang Garuda akan menghabisi mereka, kita kemudian membuktikan bahwa kekhawatiran itu sama sekali tidak terbukti.<br /><br />Sampai sekarang bisnis mereka masih berkembang. Itu dibuktikan dari order cup jelly. Bahkan kami masuk bisnis jelly bukan hanya mengubah pasar konsumen tapi juga supplier dan pedagangnya. Ini butuh long term discipline hingga akhirnya kita bisa masuk industri jelly di “sungai yang berbeda”. Oleh sebab itu tiga tahun kemudian ketika supplier presentasi di hadapan para pemain produk jelly, terbukti omzet semua pemain naik. Mengapa bisa seperti itu? Karena kita menciptakan “sungai baru” di bisnis jelly. Bahkan sungai baru itu kita mulai dari level pedagangnya. Dulu jelly dijual itu dimasukkan ke dalam ember. Itu kan lucu, trade promo dalam bentuk packaging. Konsumen kan tidak pernah membeli ember itu karena begitu sampai ke pedagang, setelah jelly dikeluarkan, embernya lalu dijual. Jika demikian kasusnya tidak harus pakai ember. Yang penting pedagangnya mendapat kompensasi senilai ember tersebut.<br /><br />Aturan main ini yang kemudian kita ubah. Memang, pada awalnya distributor takut karena waktu kita masuk ke pasar jelly seolah-olah “melawan arus”. Akan tetapi kami bisa yakinkan bahwa pedagang tidak dirugikan karena mereka masih mendapatkan apa yang selama ini mereka jual. Hanya saja sekarang kita memberikan keuntungan itu dalam bentuk lain, yakni “trade promo” dengan nilai yang relatif sama. Dan itulah yang kita lakukan, pasar kita educate tidak perlu lagi memakai ember.<br /><br />Kompetitor juga ikut menikmati itu semuanya karena mereka tidak harus jualan dengan ember lagi. Cost-nya juga jadi turun karena yang harus mendapatkan nilai tambah itu pada hakikatnya konsumen akhir. Sebelum kami datang para pemain jelly rata-rata berkutat pada tataran “price war” karena mereka bukan “value creator”. Kami tidak masuk ke sana, tetapi membangun sungai baru yang berbeda. Orang mungkin melihat kami membuat jelly yang harganya lebih mahal, namun dengan quality yang jauh lebih baik. Tapi kemudian pada saat bersamaan kami juga membangun brand, sehingga dari konsumen muncul ketertarikan. Pedagangnya juga kita dorong sehingga pada akhirnya produk kita pun bisa jalan. Ingat, sebuah perusahaan itu harus berfungsi sebagai value creator, jangan menjadi value destroyer.<br /></div><div align="justify">Sekadar contoh, Value destruction seperti ini terjadi di pasar mi instan karena para pemain terjebak dalam price war. Harga jadi battle field. Padahal, konsumen tidak mengharapkan hal seperti itu. Yang dicari konsumen sebenarnya adalah value.<br /><br />Yang kami lakukan di jelly adalah menciptakan rule of the game baru. Dalam rangka menciptakan “sungai baru". Apa yang saya mau lakukan adalah we are not going to compete in the same river. Setelah jelly mulai jalan, kita mulai melihat produk ini tidak bisa hanya jelly saja, karena market-nya tidak terlalu besar. Di samping itu juga karena pemain-pemain lain bukan merupakan value creator, sehingga kalau bekerja sendirian kami akan lekas lelah. Jadi sesungguhnya persaingan itu justru menciptakan dinamika pasar dan akhirnya bisnis tiu sendiri. Itulah sebabnya kemudian cakupan industi makanan jelly kami perluas dengan masuk ke minuman, yakni jelly drink. Sekali lagi, yang penting dalam bisnis itu harus mampu menciptakan point of difference.<br /><br />Karena ini hal baru dan “aneh” dalam industri makanan jelly maupun minuman, maka positioning strategy menjadi issue yang kritikal. Seperti yang telah kita ketahui, dalam marketing, positioning strategy itu penting sehingga konsumen akan mempersepsi brand kita sesuai dengan yang kita kehendaki. Sesuai dengan kelebihan dari functional benefit yang kita ciptakan, maka positioning OKKY Jelly Drink adalah “Pelepas Dahaga Penahan Lapar”. Jadi bukan sekadar minuman, tapi sekaligus bisa dipakai untuk penangsel perut. Dari situ kita baru mulai merayap ke sungai-sungai lainnya. Mulai dari Okky Jelly Drink, kita masuk ke Okky Bollo Drink, dari sana kita bisa saja masuk ke kategori-kategori lainnya.<br /><br /><strong><em>Bagaimana dengan Nasi Instan Garudafood?<br /></em></strong><br />Nasi Instan atau Instan Rice ini sebuah tantangan menarik buat Garudafood, karena kami membangun kategori yang sama sekali baru. Analoginya sama seperti yang dilakukan Indofood ketika mengubah persepsi konsumen tentang mie. Dulu mie adalah teman lauk dan lebih banyak dikonsumsi etnis Tionghoa sampai akhirnya jadi makanan pokok yang dikonsumsi oleh seluruh rakyat Indonesia. Ini perjuangannya cukup lama. Poin itu kami sadari sejak awal ketika kamic memasuki bisnis ini. Oleh sebab itu membutuhkan napas yang panjang. Nasi instan ini juga pernah dicoba oleh Unilever dan mereka gagal. Menurut analisis kami faktor utama yang membuat mereka gagal adalah karena produk mereka belum benar benar nasi instan.<br /><br />Dari awal kami sudah menyadari ini adalah perjuangan jangka panjang dan kami tidak berharap akan segera bisa menikmati hasilnya.<br /><br /><strong><em>Berapa lama target Anda agar sebuah produk baru mampu menguasai pangsa pasar 1%,2%,5%,10%,20% atau bahkan bisa menjadi pemimpin pasar?</em></strong></div><div align="justify"><strong><em></em></strong> </div><div align="justify"><br />Target selalu ada, tapi berapa persentasenya tidak ada patokan yang pasti untuk dijadikan pedoman. Karena setiap produk, apalagi setiap kategori produk, situasi persaingannya itu sama sekali berbeda. Sehingga ketika masuk kategori baru, seperti basic food, kami sadar jika kita bisa merebut market share 5% saja sudah cukup membuat kami senang. Berbeda dengan di kategori snack, dari sejak tahun awal mungkin sudah ditargetkan 10%, tahun kedua harus meningkat jadi 20%. Intinya, target sangat ditentukan pada hasil analisis kompetitif yang kami lakukan.<br /><br /><strong><em>Strategi apakah yang Bapak gunakan, apakah masuk ke kategori yang sama sekali baru dengan menjadi innovator/pioneer atau juga menjadi follower tetapi dengan produk yang lebih baik?<br /><br /></em></strong>Kalau dikatakan me too, dalam arti kami membuat exactly the same dengan kompetitor atau bahkan lebih jelek, itu jelas bukan tujuan kami. Kalau kami mengembangkan sebuah produk yang tidak selalu baru itu juga tetap kami lakukan, akan tetapi itu dilakukan dengan prinsip harus menciptakan nilai tambah (added value). Kalau ada konsultan bisnis yang bilang kami “me too” berarti dia tidak paham bisnis. Sebab sampai kapan pun tidak akan pernah ada bisnis me too yang bisa berkembang. Tak heran kalau Stan Shih, bosnya Acer mengatakan “me too is not my style” itu karena market leader tidak mungkin dicapai dengan strategi me too. Akan tetapi bahwa kita masuk di produk-produk yang sudah ada, kenapa tidak? Selama peluang itu masih ada, ya kita bisa masuk. Tapi ingat, sekali lagi kita harus menciptakan nilai tambah. Karena masuk di bisnis baru yang sama sekali belum ada di pasar itu bukan hal mudah. Garudafood menciptakan OKKY Jelly Drink ketika yang lain belum ada. Me-too boleh dilakukan dalam arti menciptakan nilai tambah. Tapi kalau me-too dalam arti menjiplak itu tidak kami lakukan.<br /><br /><strong><em>Berapa persen tingkat kegagalan produk baru yang Anda launching?<br /><br /></em></strong>Dalam launching produk, wajar jika ada yang tidak berhasil. Tapi persentasenya kecil; di bawah 1%. Garudafood bekerja itu dengan speed. Sehingga kadang-kadang kalau orang tidak tahu, kami dianggap agresif. Padahal kami bekerja cukup sistematik tapi dengan speed yang tinggi jadi meski kelihatan inovasinya bertubi-tubi, itu dilakukan dengan cara yang hati-hati. Maka, jika suatu produk belum pasti ada keunggulannya belum kita luncurkan. Tapi kalau sudah pasti ada keunggulannya baru kita luncurkan. ***<br /><br /><br /> </div>SIMON JONATANhttp://www.blogger.com/profile/05617154832802540814noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6315223576022422156.post-26884753895587063782006-12-18T02:59:00.000-08:002006-12-18T03:12:27.022-08:00HARRY SANUSI, PRESIDEN DIREKTUR & CEO GRUP KINO<div align="justify"> </div><div align="justify"><strong><span style="font-size:130%;">RAHASIA SUKSES SEORANG INOVATOR</span></strong></div><div align="justify"><strong><span style="font-size:130%;"></span></strong> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Grup Kino pimpinan Harry Sanusi terkenal sebagai kelompok usaha yanginovatif sesuai slogan perusahaannya "The Innovator". Kelompok ini terdiri dari empat perusahaan yakni PT KinoCare Era Kosmetindo (perawatan tubuh dan pembersih rumah tangga), PT KinoSentra Industrindo (makanan dan permen), PT KinoAid Indonesia (farmasi dan minuman) dan PT Duta Lestari Sentratama (distribusi). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Menurut pria kelahiran Pontianak tahun 1967 itu, ia memulai usaha dengan menjadi distributor tunggal Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga produksi PT Sinde Budi Sentosa pada 1991. Koneksi ke produsen minuman pencegah panas dalam itu diperoleh dari ayahnya yang menjadi distributor produk tersebut di Pontianak. Kegiatan itu dirintisnya dengan bantuan modal dari sang ayah sambil menempuh kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.</div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Awalnya, PT Sinde Budi Sentosa berkeinginan menunjuk distributor tetapi tidak berani karena ada kemungkinan produk tersebut tidak laku.Ketika Harry Sanusi memperoleh tawaran untuk menjadi distributor maka dalam hitungan hanya semenit tawaran itu diterimanya. Tetapi, dengan catatan ia tidak boleh mengambil provisi apoteker. Pekerjaan sebagai distributor tunggal pun dijalaninya dari akhir 1991 sampai dengan akhir 1996. Perkembangan signifikan terjadi pada Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dari barang yang tidak laku hingga menjadi produk laris setelah diiklankan melalui televisi via iklan murah meriah Spot Melati di TPI. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Selanjutnya Harry hanya fokus pada produk tersebut. Ia pun cukup agresif dalam membuka cabang-cabang dan upaya pemasaran lainnya. Suatu saat akhir 1996, Harry berpendapat perusahaan distribusi yang hanya mengandalkan satu produk saja dalam kondisi yang berbahaya sebab suatu produk pasti memiliki siklus hidup tertentu. Sehingga Harry mulai melirik untuk mendistribusikan barang-barang lain untuk mendukung produk tersebut. Tetapi agaknya terjadi perbedaan persepsi dengan PT Sinde Budi Sentosa yang menghendaki agar Harry hanya menangani produk mereka saja sehingga akhirnya kontrak sebagai distributor diputus. Dalam kondisi tidak menentu sekitar awal 1997 itu, Harry Sanusi sempat menarik beberapa prinsipal tetapi kemudian diputuskan untuk berhenti. Harry Sanusi kemudian memilih banting setir ke industri permen."Kekuatan kami didistribusi dan kami tidak mau menjual produk branded yang memiliki loyalitas tinggi.Kami memilih menjual produk low involvement, "tutur Harry Sanusi.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Ia memulai terjun ke industri permen di kota Semarang karena di sana ia memiliki tanah kosong di daerah Terboyo dan Sayung. Waktu itu, Harry kebingungan untuk memilih jenis permen apa yang akan diproduksi. Pilihan akhirnya jatuh di produk soft candy yang pada waktu itu belum banyak pemainnya. Setelah itu, timbul pertanyaan soal flavour (cita rasa) dari permen? Pilihan kemudian jatuh pada rasa kopi karena soft candy dengan rasa kopi pada waktu itu belum ada dan Harry Sanusi melihat ada peluang untuk melakukan klaim di pasar bahwa perusahaannya telah melakukan inovasi dari hard candy ke soft candy. Dari situlah permen Kino diperkenalkan dan menuai sukses besar.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Sukses permen Kino agaknya cukup terbantu oleh situasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Ketika itu harga Kopiko melambung luar biasa tinggi dan produsen Kopiko sengaja bertahan di harga tersebut karena merasa tidak memiliki saingan. "Pada waktu itulah kami masuk dengan harga lebih murah," ungkap Harry Sanusi menyingkap rahasia suksesnya.Bisnis inti Grup Kino yang sesungguhnya adalah produk konsumsi (consumer goods). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Pada 1999, Grup Kino memasuki bisnis toiletries dengan memperkenalkan merek Ovale. Dalam waktu setahun sejak diluncurkan, produk pembersih wajah miliknya itu mampu merebut 12 persen pangsa pasar pesaing yang bermain di kategori tersebut yakni Viva, Sari Ayu dan Pond's. Tahun kedua Ovale mampu tumbuh hingga 16,5 persen. Konsep produk Ovale ini memang tampak inovatif. Selama ini, pembersih wajah selalu menggunakan dua produk : krim pembersih (face cleansing cream) dan penyegar (face toner). Ovale tampil dengan konsep all in one yang menggabungkan pembersih dan penyegar sekaligus pelembab dalam satu kemasan. Adalah </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Harry Sanusi yang menggagas produk pembersih wajah dalam satu kemasan itu. Selama ini secara tradisional produk pembersih muka selalu terdiri dari rangkaian lotion pembersih muka (facial cleanser) dan penyegar muka. Terbersitlah gagasan menggabungkan dua produk itu agar memudahkan konsumen. Penggunaannya lebih nyaman dan praktis sementara hasil pemakaiannya lebih bersih dan tidak boros. Pematangan gagasan itu memakan waktu selama 12 bulan terhitung dari penemuan ide, pelaksanaan riset lapangan dan riset konsumen, pengembangan formulasi, uji stabilitas, pengembangan desain kemasan dan desain label, sampai dengan produk jadi yang siap dipasarkan kepada konsumen. Inovasi produk dilanjutkan dengan meluncurkan Ovale Maskulin, produk pembersih khusus laki-laki. Kemudian diikuti dengan cologne gel (2000), femine hygiene (2000), Cologne pria Master (2001) dan produk toiletries anak-anak Eskulin yang kemudian muncul dengan karakter kartun Disney (2003). Besar royalti pemakaian karakter kartun Disney sekitar 3-5% dari omset penjualan.Dengan melakukan co-branding dengan karakter kartun Disney dan Warner Bross untuk produk-produk kids grooming pada merek Eskulin dan B&B maka Grup Kino mampu menguasai 15 persen pangsa pasar dalam dua tahun.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Grup Kino kemudian terjun ke minuman energy drink. Hal itu terjadi setelah Grup Kino mengakuisi merek Panther dari Sungai Putih Group yang dikenal sebagai produsen tepung beras Rose Brand. Karena Grup Kino ingin masuk ke segmen energy drink maka ada dua pilihan yakni masuk dalam kemasan sachet yang murah atau segmen botolan yang lebih mahal. Mengapa bisa timbul kemasan sachet ? Hal itu karena pertimbangan harganya yang lebih murah.Tetapi, jatuh-jatuhnya pembeli sachet pun harus membeli air minum dalam kemasan sehingga harganya menjadi sekitar Rp 1500. Harry Sanusi kemudian menyimpulkan bahwa retail price yang tepat adalah Rp 1.500. Oleh karena itu, kemudian diciptakan Panther dalam kemasan botol plastik yang dilepas dengan harga Rp 1.000 ke pengecer untuk bisa dijual dengan harga Rp 1.500-Rp 2.000 ke konsumen dengan demikian harganya lebih murah dibandingkan pemain lainnya. Tetapi dengan hitungan biaya yang sangat tipis itu ketika terjadi gejolak harga maka harga murah yang semula dikonsepkan ternyata terlewati. Akhirnya, hitungannya menjadi tidak sesuai meski harga botol plastik hanya separuh dari harga botol gelas.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Salah satu produk inovatif Grup Kino lainnya adalah tablet obat flu K-100 yang berisi 4 kaplet yakni 3 kaplet untuk pagi, siang, sore berwarna putih yang tidak menimbulkan kantuk dan 1 kaplet berwarna merah untuk malam hari yang membuat kantuk. Sayangnya produk ini dipastikan akan mengalami kegagalan di pasar. Hal itu disebabkan oleh perilaku konsumen di Indonesia yang tidak teratur dalam mengonsumsi obat. Misalnya, tablet yang dalam sehari harus dikonsumsi 4 kali ternyata hanya dikonsumsi dua kali saja. Selain itu,masih ada kendala perilaku penjual obat eceran dengan cara digunting-gunting dan kecenderungan konsumen memilih kaplet yang berwarna merah sehingga pemakaian kaplet menjadi kacau yang seharusnya malam diminum pagi dan seterusnya. Sementara penjual juga tidak mau rugi bila ada kaplet yang tidak laku. Sebab dalam persepsi orang Indonesia obat flu yang manjur adalah bila memiliki efek mengantuk. "Kami keluarkan K-100 karena semula kami yakin dengan konsep yang dibawa," Harry beralasan.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Produk inovatif lainnya adalah Kino Sweat. Minuman isotonik bersifat tawar yang rasanya "asin tidak asin, manis tidak manis." Grup Kino masuk ke kategori minuman isotonik yang dikuasai Pocari Sweat dalam bentuk kemasan sachet. Tingkat konsumsi minuman isotonik masih sangat rendah sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan frekuensi minumnya. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa akhirnya orang akan memilih minuman isotonik dengan flavour yang lebih enak. "Bagaimana pun Kino Sweat bukan minuman obat sehingga harus dapat dinikmati pula oleh konsumen," kata Harry.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Menurut pengusaha muda itu, anggaran biaya peluncuran produk baru untuk produk low involvement seperti permen membutuhkan biaya antara Rp 5 miliar - Rp 6 miliar. Sedangkan, untuk produk toiletries perawatan tubuh saat ini diperlukan biaya paling sedikit Rp 20 miliar.Harry mencontohkan total biaya inovasi Ovale yang waktu itu masih Rp 9,4 miliar. Alokasi dananya terdiri dari pembelian mesin baru (Rp 1,5 miliar), mould kemasan (Rp 500 juta), pengembangan produk (Rp 50 juta), investasi merek berupa produksi TVC (Rp 350 juta), promosi iklan TV dan media cetak(Rp 5,5 miliar), riset (Rp 55 juta), pendaftaran produk (Rp 200 juta) serta tenaga pemasaran dan armada penjualan (Rp 1,25 miliar). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Apa syarat bagi sebuah produk agar sukses di pasar? Menurut Harry produk akan sukses apabila mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Pada setiap waktu selalu terjadi perubahan ekspektasi konsumen yang harus ditangkap produsen dengan tepat. Untuk itu diperlukan riset konsumen yang komprehensif. Ada faktor-faktor yang tidak terbaca yang harus diantisipasi. Semua tergantung pada industri dan jenis produknya berbeda-beda. Sehebat apapun pengalaman seseorang pasti pernah mengalami kegagalan sebab ada hal-hal yang masih terlewatkan. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Harry Sanusi mengaku mengembangkan produk baik sebagai pioneer maupun follower. Kino Sweat muncul sebagai follower dengan perbaikan dari segi kemasan dalam bentuk sachet. Demikian pula, Segar Sari yang berupaya menembus pasar minuman jeruk serbuk yang dikuasai Nutrisari, Marimas dan Jas Jus. Harry melakukan inovasi dengan menaikkan gramatur kandungan sachet. Bila kemasan lain berisi 10 gram maka Segar Sari berisi 12 gram. Meski perbedaan hanya kecil yakni 2 gram tetapi rasa Segar Sari menjadi jauh lebih enak. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Inovasi lainnya dalam hal kemasan pembungkus yakni tidak menggunakan dos-dos kecil lagi tetapi memasukkan 100 sachet dalam 1 container plastik sehingga container itu masih bisa dijual lagi oleh si pemilik toko. "Memang cost-nya lebih tinggi tetapi kami bisa menghemat dari sisi iklan," kata Harry. Harry tampaknya memainkan semua peluru marketing mix yang dimiliki mulai dari product, price, place dan promotion.Produk Kino saat ini sudah merambah 15 negara yakni negara-negara ASEAN, Afganistan, Pakistan, Korea, Rusia, Afrika dan negara-negara Timur Tengah. Sejak 2003 Grup Kino melakukan ekspansi ke Filipina dengan mendirikan perusahaan patungan Kino Consumer Philiphine Inc.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Harry Sanusi semakin mumpuni dengan portofolio produk yang dimilikinya. Bila produk-produk itu dapat dimasukkan dalam tiga golongan yakni produk sukses, dalam perjuangan dan gagal maka petanya dapat digambarkan sebagai berikut :</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Produk Sukses </div><div align="justify"> </div><div align="justify">1. Kino Sweat </div><div align="justify">2. Ovale </div><div align="justify">3. Permen Kino </div><div align="justify">4. Master </div><div align="justify">5. Resik-V (cairan pembersih bagian rahasia wanita) </div><div align="justify">6. Absolut (pembersih wanita) </div><div align="justify">7. Eskulin (kids grooming) </div><div align="justify">8. B&B (kids krooming) </div><div align="justify">9. Sleek (household cleaning)</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Produk masih dalam perjuangan di pasar </div><div align="justify"> </div><div align="justify">1. Panther, energy drink </div><div align="justify">2. Instan, hand sanitizer / cairan pembersih tangan anti bakteri</div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Produk gagal </div><div align="justify"> </div><div align="justify">1. K-100, obat flu 4 kaplet (3 putih, 1 merah) </div><div align="justify">2. Extra White (pemutih wajah) --- akibat salah produksi.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Suatu produk dianggap gagal Harry Sanusi bila dalam waktu 3-5 tahun tidak mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan.*** <br /> </div>SIMON JONATANhttp://www.blogger.com/profile/05617154832802540814noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6315223576022422156.post-7803471917278765582006-12-18T02:48:00.000-08:002006-12-18T02:54:02.013-08:00BARRY LESMANA - PRAKTISI PERBANKAN, MANTAN EKSEKUTIF CITIBANK DAN BCA<div align="justify"> </div><div align="justify"><em>LAUNCHING ADALAH AKHIR DARI SESUATU PERSIAPAN DAN MERUPAKAN AWAL DARI SEBUAH TUJUAN YANG LEBIH BESAR<br /> </em></div><div align="justify">Dalam perjalanan karir Barry Lesmana selama 35 tahun di dunia perbankan, 15 tahun di antaranya dia fokuskan di bidang consumer banking. Delapan tahun ia bergabung dengan BCA dengan jabatan terakhir Consumer Banking Head, Bank Central Asia dan sisanya selama tujuh tahun di Citibank dengan jabatan Country Head, Consumer Banking ,Citibank Indonesia. Di kedua bank itulah Barry pernah mencatatkan value innovation yang membanggakan. </div><div align="justify"><br />Konsep value innovation terdiri dari dua kata yang memiliki makna tersendiri. Bila innovation tanpa diserta value, tidak ada peningkatan nilai yang berarti.Value innovation selalu menciptakan pasar baru (new market). Banyak contoh value innovation seperti telepon seluler, Teh Botol Sosro, Aqua, mi instan yang masing-masing menciptakan pasar baru.<br /><br />Value innovation yang diciptakan Barry Lesmana antara lain sistem pembayaran tagihan Telkom atau pembayaran tagihan kartu kredit Citibank melalui ATM di BCA sedangkan selama di Citibank dicetuskannya One Bill, Easy Pay, Butik ATM yang kemudian banyak ditiru bank lain bahkan diimpor Citibank untuk diterapkan di negara lain. </div><div align="justify"><br />Dalam hal peluncuran produk baru perbankan Barry Lesmana berkenan untuk berbagi pengalaman. Menurutnya dari 10 peluncuran produk baru perbankan mungkin sekali 7 atau 8 produk diluncurkan dapat mengalami kegagalan. Mengapa? Karena kata launching terkadang menjadi antiklimaks setelah orang mengeluarkan banyak energi untuk mempersiapkan peluncuran. “Hal itu saya alami sendiri jadi bukan berdasarkan kisah dari orang lain,”Barry Lesmana memulai kisahnya. Karena apa ? Karena yang menjadi sasaran adalah kata launch. Orang-orang sudah melakukan persiapan serapi mungkin sehingga ada anggapan bahwa kalau produk sudah di-launch berarti tujuan telah tercapai.<br /><br />Disitulah menurut Barry Lesmana yang menjadi permasalahan mengapa setelah produk di launching justru menjadi antiklimaks. Ada dua penyebabnya. Pertama, orang yang mengerjakannya sudah terlampau capai. Kedua, karena yang menjadi tujuan adalah launch the product bukannya selling the product yang akan menghasilkan uang.<br /><br />Disamping itu, menurut Barry, ada perbedaan mendasar antara program dan movement sebagai sebuah gerakan. Program biasanya gencar diawal peluncuran tetapi kemudian mengendur dan akhirnya hilang. Sedangkan, gerakan dapat saja dilakukan secara periodik tetapi makin hari aktivitasnya makin menguat.<br /><br />Barry menganalogikan suatu peluncuran sebagai sebuah program maupun sebuah gerakan. Bila dianggap sebuah program maka begitu produk sudah diluncurkan maka selesai pula tugas seseorang. Itu salah satu sebab, disamping faktor dari produknya itu sendiri, mengapa sebuah peluncuran produk mengalami kegagalan. Oleh karena itu, menurut Barry, perlu melihat launching sebuah produk sebagai suatu gerakan (movement). “Launching itu hanyalah awal dari suatu lahirnya produk. Banyak pemasar yang terjebak pada keasyikan yang terjadi pada saat launching. Ketika peristiwa itu lewat maka sudah tidak mengasyikkan lagi,” ujarnya menambahkan.<br /><br />Ditegaskan Barry Lesmana lagi, “Launching adalah akhir dari sesuatu dan merupakan awal dari sesuatu yang lebih besar dan yang lebih penting lagi. Launching adalah akhir dari sesuatu persiapan tetapi merupakan awal dari suatu tujuan yang lebih besar,” ujarnya.<br /><br />Lalu syarat apa saja yang diperlukan sebelum meluncurkan suatu produk baru? Kunci utamanya adalah menciptakan customer value. Kalau produk tidak memberikan value kepada customer maka produk itu bukanlah apa-apa sekalipun diluncurkan di tempat yang megah seperti Jakarta Convention Center, dimuat secara besar-besaran di surat kabar, diiklankan secara gencar di televisi.<br /><br />Kalau begitu apa bedanya customer value dan value innovation? Selama customer value tidak membuat produk jauh lebih unggul dan berbeda dibandingkan pesaing (stand out and differentiate) maka produk itu belum mencapai taraf value innovation. Misalnya, produk tersebut hanya unggul 5 persen atau 10 persen dibandingkan pesaing maka produk itu tidak termasuk sebagai value innovation. Sebaliknya, sekalipun produk tersebut memiliki inovasi yang berlebihan tetapi orang tidak mau memakainya berarti inovasi tersebut belum menghasilkan value. Banyak inovasi tidak bekerja karena berbagai sebab seperti terlalu futuristik, terlalu tinggi teknologinya, terlalu canggih, tidak user friendly, tidak memenuhi kebutuhan karena prematur pasarnya dan masih banyak lagi. Inovasi tidak ada maknanya bila tidak memiliki value.”Sebab value innovation merupakan suatu lompatan jauh ke depan (leap frog) yang umumnya akan menciptakan pasar baru (create new market),” tandas Barry.<br /><br />Gagasan value inovation menurut Barry dapat berasal dari mana saja tetapi umumnya berawal dari sebuah masalah.”Masalah dan peluang sebenarnya merupakan dua sisi mata uang,” katanya.<br /><br />Masalah timbul ketika Barry Lesmana menyaksikan penderitaan istrinya dari bulan ke bulan ketika harus membayar tagihan telepon. Di sebuah konter bank istrinya harus mengantri panjang sekali terkadang hingga memakan waktu dua jam. Begitu panjang antrian tidak jarang ada yang menawarkan jasa joki di sana.<br /><br />Karena tidak tahu harus membayar berapa, uang yang dibawa istrinya adalah sebesar tagihan bulan lalu. Malang tidak dapat ditolak, ketika sudah berhadapan dengan dengan kasir dan nomor rekening tagihan disebutkan ternyata jumlah tagihan lebih besar dan uang yang dibawa kurang. Apa artinya? Istri Barry terpaksa harus pulang ke rumah dengan tangan hampa dan esok harinya harus mengantri lagi dengan membawa uang dengan jumlah yang diminta. Hal itu menimbulkan trauma berkepanjangan.<br /><br />Akibatnya pada bulan berikutnya agar tidak harus balik lagi ke rumah maka dibawanya uang sebanyak-banyaknya. Tentu saja membawa uang banyak selain tidak aman juga berisiko. Berdasarkan kesulitan yang dialami istrinya itulah maka Barry berusaha menciptakan peluang untuk memberikan customer value.<br /><br />Bagaimana caranya? Di dunia ini pada waktu ia masih menjabat sebagai Consumer Banking Head, Bank Central Asia tidak ada orang yang membayar tagihan telepon menggunakan kartu ATM. Lalu, Barry berimajinasi seandainya ia bisa menggunakan kartu ATM kapan saja untuk membayar tagihan telepon. Misalnya, pada sore atau malam hari kita masukkan nomor telepon # 6697097, kemudian keluar tagihan di layar ATM sebesar Rp 150 ribu. Lalu ia tinggal menekan tombol Yes. Otomatis rekening tabungannya langsung dipotong dan dimasukkan ke rekening Telkom. Urusan pembayaran tagihan telepon bulanan pun menjadi beres. Selain itu, solusi tersebut akan membuat Telkom dan konsumen senang.<br /><br />Barry kemudian berbicara dulu dengan bagian dapur teknologi. Secara teknis logika hal itu pasti dapat terwujud karena hanya masalah debet kredit saja. Kemudian, ide tersebut diusulkan ke Telkom. Setelah berusaha ke sana kemari akhirnya setelah 24 bulan baru bisa terealisasi. Itu pun belum sempurna karena baru semi-online. Di Telkom, yang membantu adalah Pak Dadat Kustiwa, Direktur Operasional Telkom saat itu.<br /><br />Jadi menurut Barry Lesmana semua berawal dari sebuah gagasan. Apakah gagasan itu memberikan customer value atau tidak? Does it bring customer value? Bila ya, pertanyaan selanjutnya adalah “How many or how much?”<br /><br />Masih mengenai pengalaman Barry ketika bekerja di BCA. Ketika itu ia melihat permasalahan dalam pembayaran kartu kredit Citibank. Saat itu ada teman yang mengeluh untuk membayar tagihan kartu kredit Citibank ia harus mengantri panjang dan sesudah itu masih dikenai ongkos Rp 5.000. Itu yang menjadi pemicu baginya untuk menciptakan customer value. Karena memiliki banyak kenalan di Citibank, Barry menawarkan untuk menyediakan 2000 ATM agar pemegang kartu kredit Citibank dapat membayar tagihan kartu kredit melalui mesin tersebut. Berapa lama negosiasi dengan Citibank? Barry membutuhkan waktu 18 bulan dari awal hingga realisasi.” Tak mudah memang,” ujarnya.<br /><br />Jadi, seperti itulah value innovation, yang diciptakan untuk memberikan kemudahan kepada customer. Citibank diuntungkan langsung menerima uang dari pemegang kartu kredit. Sementara, bagi BCA reputasinya semakin berkibar karena setiap orang yang ingin mendapatkan kemudahan membayar kartu kredit Citibank di ATM BCA harus membuka dulu rekening di BCA.<br /><br />Pemasangan ATM oleh BCA pada waktu itu dimaksudkan untuk mengatasi masalah antrian cabang yang panjang. Sebab nasabah yang datang ke BCA terus membeludak. Pemasangan ATM juga untuk membantu menyelesaikan masalah operasional di cabang-cabang. Jadi sekalipun dibandingkan dengan negara lain pemasangan ATM di Indonesia mungkin sudah terlambat lebih dari 15 tahun tetapi BCA sudah mulai mendidik konsumen untuk mengambil uang melalui ATM. Sebab dibalik itu bagi BCA ada kepentingan bisnisnya. Kalau tetap terjadi antrian panjang di cabang maka nasabah yang semula hanya membutuhkan dana Rp 500.000 terpaksa mengambil Rp 2 juta supaya tidak perlu antri lagi. Bila hal itu dibiarkan maka deposit di bank akan turun.<br /><br />Barry menuturkan ketika pertama kali diwacanakan pemasangan banyak mesin ATM terjadi penentangan di internal BCA. “Jangan pasang ATM banyak-banyak nanti orang gampang mengambil uang sehingga saldo turun,” ujar kalangan internal di BCA. Logika nasabah justru sebaliknya. Dengan kemudahan dan ketersediaan ATM di mana-mana maka masyarakat hanya mengambil uang di ATM secukupnya saja. Daya tarik BCA pun semakin meningkat sehingga mendorong orang berbondong-bondong pindah ke bank tersebut.<br /><br />Hal itulah menurut Barry Lesmana yang membedakan consumer goods dengan consumer banking. Sehingga banyak ahli consumer goods yang pindah ke consumer banking merasa tidak tahan. Karena proses di belakang jasa perbankan banyak sekali. “Memasang ATM adalah soal membeli mesin tetapi di belakang itu masih banyak masalah lainnya. Bagaimana piranti lunaknya, bagaimana agar mesin tidak asal tekan mati, bagaimana pula investasi perusahaan? Bagaimana mencari lokasi yang tepat? Bagaimana pula masalah branding?,” Barry Lesmana menjelaskan.<br /><br />Adalah sesuatu yang menyesatkan bila berpikir launching produk hanya soal pasang iklan di televisi saja. “Pasang iklan bukan tujuan tetapi hanya salah satu tujuan. Selain itu, pemasar tidak harus memasang iklan karena hal itu tergantung pada sasaran pasar dan strategi komunikasinya,” tandas Barry.<br /><br />Iklan mungkin berisi pengumuman. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana hal itu dapat membuat orang mencoba sekaligus mengubah kebiasaan. Selama dalam proses mencoba itu (trial) harus menghasilkan pengalaman yang menyenangkan (good experience). Banyak produk yang gagal karena ketika dicoba dalam kondisi tidak siap pakai, ada yang mengalami kemacetan dan dalam kondisi cacat. Akibatnya konsumen kapok dan enggan untuk mencoba lagi.<br /><br />Dengan proses edukasi yang baik masyarakat mulai berani mencoba ATM untuk pertama kalinya. Bagi kaum berdasi pengalaman pertama berhadapan dengan mesin berteknologi tinggi cukup mengerikan. Mereka takut dikatakan termasuk kalangan “gatek” atau gagap tekenologi. Tetapi, setelah mencoba dan merasakan kemudahan ATM BCA mereka umumnya berkomentar, Oh …ternyata enak ya .”Try for the first time harus menghasilkan pleasant experience supaya konsumen tidak mengalami trauma. When the first experience is not a good one maka hal itu dapat mengantar pada kegagalan,” tuturnya.<br /><br />Sesudah launching pekerjaan yang harus dilakukan masih panjang sekali. Begitu produk sudah di-launching maka proses selanjutnya adalah sosialisasi. Proses sosialisasi adalah proses penjualan atau selling. “Sosialisasi dan edukasi adalah dua kata yang sering disebut-sebut tetapi umumnya tidak dilakukan dengan baik dan benar,” kata Barry.<br /><br />Salah satu yang menyumbang bagi kegagalan produk adalah sikap terburu-buru karena dikejar tenggat waktu. Hal itu dialami Barry Lesmana ketika sebagai Country Head, Consumer Banking di Citibank Indonesia meluncurkan produk Ready Cash Citibank. Secara konsep namanya bagus yang berarti menyediakan uang tunai bagi nasabah kapan saja. Demikian pula kalimat promosinya indah yang berbunyi,“Dompet tipis, datang kemari …” Dipandang dari sudut customer value juga menjanjikan karena produk tersebut menyediakan pinjaman bagi konsumen yang membutuhkan. Prosesnya seperti memberikan overdraft tetapi tidak dilengkapi buku cek. Bagi pedagang atau pengusaha praktik tersebut sudah lazim.<br /><br />Karena gagal maka produk Ready Cash dikemas ulang dan didiferensiasi menjadi program Personal Loan yakni sebuah produk pinjaman sederhana dengan cicilan tetap dan tanpa jaminan.<br /><br />Sedangkan, produk Eazy Pay yang disiapkan dengan baik membuahkan hasil yang luar biasa. Mengapa? Karena Citibank berhasil melihat adanya kebutuhan konsumen terhadap barang-barang sekunder yang umumnya produk elektronik seperti ponsel, kamera digital, televisi, kulkas dan sebagainya. Barang sekunder memiliki sifat bila ada menyenangkan tetapi bila tidak ada tidak menimbulkan masalah.<br /><br />Pemegang kartu kredit Citibank umumnya adalah orang-orang yang memiliki tabungan. Bila mereka harus membeli barang seharga Rp 5 juta tunai maka tabungan mereka akan menipis. Eazy Pay memberikan peluang untuk memiliki barang dengan cara cicilan dengan prosedur yang cepat dan mudah asal masih dalam batas limit kredit maksimum pemegang kartu. Kalau pun ada yang menyediakan kredit selain prosesnya berbelit-belit , pemohon masih harus diminta untuk mengisi formulir terlebih dahulu. Sudah begitu persetujuannya biasanya memakan waktu yang lama. Berbeda dengan Eazy Pay yang bersifat instant approval dengan lama cicilan 12 bulan atau 24 bulan.”Itu powerful sekali,” ujar pria yang kini memimpin Ilead Consulting itu.<br /><br />Barry Lesmana juga dikenal sebagai turnaround manager yang mampu mengubah kinerja perusahaan dari kondisi terpuruk menjadi bagus kembali. Ketika ia mendirikan divisi customer banking di BCA tahun 1990 bank tersebut belum memiliki satu buah ATM pun. Demikian pula ketika ia bergabung ke Citibank pada 1998 bank tersebut sedang mengalami krisis keuangan sebagai dampak krisis moneter yang melanda Indonesia. Bisnis kartu kredit yang semula memberikan kontribusi 90 persen bagi pendapatan Citibank pada 1998 mengalami kerugian. Pertama, ketika deposito menawarkan bunga lebih dari 60 persen maka bunga kartu kredit hanya dinaikkan dari 36 persen menjadi 42 persen. Kedua, orang yang biasa menggunakan kartu kredit pada saat krisis moneter tidak menggunakan kartunya. Ketiga, banyak pemegang kartu kredit yang tidak mampu membayar karena terkena PHK.<br /><br />Kondisi tersebut membuat Barry Lesmana membangun divisi consumer banking Citibank dari nol lagi. Pada kuartal I, II dan III di tahun 1999 kondisi Citibank masih merugi. Kondisi baru mulai pulih pada kuartal IV tahun 1999.<br /><br />Tantangan kemudian datang lagi berupa comoditization kartu kredit. Pada waktu itu banyak bank lain yang mengeluarkan kartu kredit Visa dengan tawaran iuran tahunan yang lebih murah. Dalam hal komoditas maka yang menentukan adalah harga. Citibank tentu tidak akan menawarkan jasanya dengan harga murah sehingga perlu upaya baru untuk mensiasati komoditisasi tersebut. Caranya?<br /><br /> <br />Barry Lesmana mengeluarkan jurus pembeda (differentiation) dengan tajuk ”Kartu Citibank lebih dari sekadar kartu kredit”. Itu yang membedakan Citibank Visa dengan kartu-kartu kredit lainnya. Dengan memberikan lebih banyak customer value dan lebih banyak kemudahan ternyata kartu Citibank Visa menjadi lebih unggul. Bentuk pembedanya antara lain berupa tawaran Eazy Pay, Personal Loan, One Bill, Makan 3 gratis 1 dan masih banyak lagi.<br /><br />Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk peluncuran sebuah produk hingga menuai sukses di pasar? Menurut Barry Lesmana setiap produk memiliki karakter tersendiri. Produk pembayaran telkom melalui ATM BCA membutuhkan waktu untuk mengubah kebiasaan konsumen dari antri di loket ke bayar langsung melalui ATM. “Perilakunya bersifat tipping point seperti wabah. Kita membutuhkan waktu setahun untuk mendidik konsumen. Tahun kedua kondisinya sudah gila-gilaan,” ujar Barry. Semua bergantung pada sifat value yang disuguhkan serta antisipasi untuk program sosialisasi dan edukasinya. Eazy Pay Citibank langsung mengalami boom karena bersamaan dengan munculnya kebutuhan terhadap kredit cicilan tetap. Sementara, One Bill Citibank membutuhkan waktu karena perlu mengubah kebiasaan konsumen terlebih dahulu.<br /><br />Mendengarkan kisah dari Barry Lesmana maka kita pantas terpesona karena launching financial product yang tampaknya begitu sulit ternyata pada intinya sangat sederhana sekali. Very Common Sense. Terimakasih Barry Lesmana atas kontribusinya yang amat berharga ini. ***<br /> </div>SIMON JONATANhttp://www.blogger.com/profile/05617154832802540814noreply@blogger.com37tag:blogger.com,1999:blog-6315223576022422156.post-77715063987855701332006-12-07T01:47:00.000-08:002006-12-07T02:13:55.613-08:00LAUNCHING IS CEO DECISION<div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-family:georgia;">Oleh Simon Jonatan dan Ari Satriyo Wibowo</span></div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-family:georgia;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:georgia;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:georgia;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:georgia;">Launching adalah suatu kegiatan pemasaran yang paling memeras keringat, menekan pikiran dan menguras kantong. Persiapan launching saja akan mengakibatkan semua departemen di sebuah perusahaan. Praktis semua tim manajemen terlibat dalam kegiatan ini.<br /><br />Gagasan produk bisa datang dari semua bagian tetapi pengembangan ada di tangan R&D. Regitrasi, purchasing, persiapan produksi, ada di bagian Operational Director, sedangkan Cost of Good Sold dan modal; ada di tangan bagian keuangan sementara pengadaan kerja oelh bagian personalia. Launching adalah proyek besar yang menentukan nasib perusahaan dan eksekusi dari segala persiapan launching ada di tangan Direktur Pemasaran atau Manajer Pemasaran. Dalam hal ini muncul semacam stigma orang pemasaran belum merasa sebagai pemasar sejati bila belum sukses melakukan launching produk baru.<br /><br />Launching itu sendiri sebenarnya sederhana saja. Maka sungguh mengherankan bila riset Delloitte dan Touche pada 1998 menunjukkan bahwa 95 % produk baru mengalami kegagalan. Sementara, AC Nielsen dalam risetnya tahun 1999 di Eropa menunjukkan 90 % produk baru mengalami kegagalan. Sementara itu, menurut Garry Lynn dan Richard Reilly dalam bukunya Blockbusters menyatakan bahwa kegagalan produk baru yang mencapai 60 % dapat diminimalkan dengan menciptakan produk hebat melalui 5 langkah kunci yakni pelibatan tanggung jawab manajemen senior, visi produk yang sengaja dipaksakan, mengedepankan peranan pembuatan prototype produk, , kerjasama yang erat dari orang-orang yang berada di bawah tekanan waktu dan proses pertukaran informasi yang baik.<br /><br />Lalu mengapa launching itu penting. Sebab masa depan pertumbuhan perusahaan ditentukan oleh sukses produk baru. Disamping itu sudah menjadi tradisi bahwa cita-cita seorang usahawan atau pemasar yang paling mengesankan --- kalau memang tidak boleh disebut paling tinggi --- adalah sukses melahirkan atau melakukan launching brand.<br /><br />Dalam bahasa Indonesia, kata launching diterjemahkan sebagai peluncuran. Sehingga, peluncuran adalah kata yang paling sering digunakan untuk memaknai kata launching. Akibatnya, launching menjadi terkesan enteng dan ringan. Rasanya lebih berbobot bila launching diterjemahkan sebagai ”melahirkan produk baru”.<br /><br />Mengapa disebut ”melahirkan”? Selama sembilan bulan lebih dilakukan persiapan dalam kandungan untuk menyambut kelahiran ”bayi” tersebut. Bahkan risiko berupa rasa sakit dan taruhan nyawa sang ibu harus dihadapi ketika melahirkan bayi tersebut. Tetapi kegembiraan setelah bayi lahir segera menghapus semua rasa sakit yang dirasakan. Harapan akan masa depan yang lebih baik merupakan harapan semua ibu yang berkehendak untuk membesarkan anak.<br /><br />Aspek-aspek di atas adalah hal biasa dialami seseorang yang pernah melakukan launching produk baru. Persiapan berbulan-bulan bahkan tahunan dilakukan. Hati terasa berdebar-debar saat produk untuk pertama kalinya dilempar ke pasar sebab disitu selalu ada risiko kegagalan sekaligus kehilangan jabatan. Namun, bila produk sukses di pasar maka kemakmuran pun segera hadir.<br /><br />Keluarga Tirto Utomo yang dibantu seorang Willy Sidharta berhasil menjadi kaya raya berkat satu merek saja yakni AQUA. Pengalaman lebih dramatis dialami Harry Sanusi yang meraih sukses berkat permen Kino. Dengan keberhasilannya itu nama Kino dijadikan payung kerajaan bisnisnya.<br /><br />Secara jujur penulis pernah menjadi Direktur Pemasaran PT Bintang Toedjoe dan kemudian dipromosikan menjadi Presiden Direktur salah satu perusahaan di lingkungan Grup Kalbe berkat kesuksesan penulis merancang ide produk Extra Joss, me-launching-nya dan menjadikannya pemimpin pasar dalam waktu relatif singkat.<br /><br />Atau sebut saja Barry Lesmana yang namanya mendunia karena sukses me-launching produk baru di BCA dan Citibank. Atau seorang Sudhamek AWS yang meraih sukses berkat produk kacang atau dr. Boenjamin Setiawan melalui obat panu bernama Kalpanax.<br /><br />Di dunia Barat dapat disaksikan bagaimana Bill Gates menjadi orang terkaya di dunia karena sukses merancang, me-launching, dan membesarkan peranti lunak Microsoft. Demikian pula Akio Morita dari Sony Corporation yang mengalami pertumbuhan hingga dua digit karena sukses melahirkan Walkman. Atau bagaimana Steve Jobs sukses melakukan turnaround di Apple Corporation berkat temuan i-Pod yang melegenda. Di dunia farmasi Glaxo mampu memborong banyak perusahaan farmasi lainnya karena sukses melahirkan Zantax (Raniditin).<br /><br />Masih banyak lagi orang-orang yang mengalami sukses besar karena lauching. Pertanyaan selanjutnya apakah mereka pernah gagal launching? Tentu saja ya. Mereka pernah mengalami kegagalan dalam melakukan launching produk. Tetapi yang pasti bukan produk pertama mereka. Mungkin produk ke-3, ke-5 atau ke-7.<br /><br />Salah satu yang penting ditekankan pula bahwa produk baru yang diluncurkan itu haruslah jauh lebih unggul dan berbeda dibandingkan pesaing (stand out and differentiate). Produk yang seperti itulah yang telah mencapai value innovation. Sebuah produk yang bakal mengarungi Samudera Biru dalam kerangka Blue Ocean Strategy.<br /><br />Barry Lesmana, mantan bankir terkemuka, ,menyebut value innovation merupakan suatu lompatan jauh ke depan (leap frog) yang umumnya akan menciptakan pasar baru (create new market) sekaligus menciptakan produk yang stand out, differentiate sekaligus blockbuster. Tingkatan itu menurut Garry Lynn dan Richard Reilly, pengarang buku Blockbusters seperti telah disebut di atas, dapat terwujud bila tim NPL (New Product Launching) melibatkan eksekutif senior perusahaan yang setara CEO (Chief Executive Senior) atau direksi bukan sekadar level manajer saja.<br /><br />Apa saja tugas CEO sesungguhnya? Pertama, CEO harus mampu menghasilkan total return yang layak dan konsisten kepada para pemegang saham. Keberhasilan CEO diukur dari seberapa besar kinerja perusahaan meningkat. Kinerja perusahaan meningkat bila produk-produknya tetap laku di pasar dan agar tetap bertahan di pasar secara berkala perusahaan harus meluncurkan produk maupun varian-varian baru di pasar. Kedua, CEO harus mengelola faktor-faktor risiko utama. Seringkali dengan alasan pertumbuhan banyak perusahan melakukan pertaruhan besar dengan risiko yang besar pula. Salah satunya adalah melakukan inovasi dengan meluncurkan produk baru yang sama sekali belum dikenal masyarakat. Ketiga, seorang CEO harus dengan cepat menyelesaikan agenda perubahan pada perusahaan. Sebagian besar CEO lebih efektif melakukan perubahan di masa awal jabatan mereka. Itu berarti CEO harus bersiap untuk masa jabatan yang lebih singkat.<br /><br />Padahal, inovasi sesungguhnya selalu muncul dari orang-orang atau ide-ide yang di luar kelaziman. Sayangnya, ketidaklaziman itu umumnya dianggap buruk sehingga walaupun para pebisnis beranggapan bahwa inovasi bisnis itu bagus tetapi tetap saja perusahaan mengeliminasi orang-orang dengan ide cemerlang termasuk dari kalangan CEO. Akibatnya, perusahaan kehilangan kesempatan untuk memperoleh masa depan.<br /><br />Menyadari begitu kompleksnya tugas yang harus dilaksanakan CEO maka melalui buku ini ditawarkan alternatif posisi Chief Brand Officer (CBO)untuk membantu sekaligus mendampingi para CEO dalam pengelolaan merek perusahaan. Semakin hari semakin disadari bahwa persaingan bisnis semakin sengit sehingga tampaknya seorang CEO tidak lagi memiliki banyak waktu untuk mengelola merek dengan seksama. Bila awalnya perusahaan dipimpin seoreang CEO yang memiliki latar belakang pemasaran maka setelah perusahaan mapanfokus perusahaan bergeser kepada target-target lain, misalnya keuangan. Sehingga pada tahap ini banyak CEO yang direkrut dengan latar belakang keuangan. Masalah merek dan pemasaran akhirnya diserahkan pada marketing manager atau division manager. Mulailah perusahaan kehilangan corporate branding strategy.<br /><br />Karena tidak adanya kebijakan merek yang kuat, secara tidak sadar para kepala divisi membuat aneka strategi dan kebijakan yang tidak konsisten dan merusak merek secara keseluruhan. Corporate branding strategy makin lama makin melemah dan bila dibiarkan akan berakibat fatal. Mengingat peranan merek amat strategis dalam menunjang keloangsungan perusahaan maka penanganan masalah merek tidak layak lagi untuk diserahkan pada level manajer melainkan level setingkat direktur. Oleh karena itu, posisi CBO patut dipertimbangkan keberadaannya bersama posisi-posisi yang sudah ada saat ini yakni CFO (Chief Financial Officer) maupun COO (Chief Operation Officer).<br /><br />Di dunia bisnis selama ini dikenal ada dua pilihan pengembangan bisnis untuk meraih pertumbuhan. Pertama, tumbuh dari dalam (Growth from Within) yang mengutamakan pengembangan produk baru (New Product Development / NPD) dan tumbuh dari luar (Growth from Outside) dengan memilih mengakuisisi merek atau produk atau perusahaan lain atau bahkan menggunakan sistem waralaba (franchise).<br /><br />Dalam kurun waktu 1970-an hingga awal 1990-an perusahaan perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia seperti Coca-Cola, Unilever, Goodyear selalu bangga melakukan strategi Growth from Within dengan berbagai NPD. Investasi yang mereka keluarkan juga demikian besar sehingga membutuhkan waktu kurang lebih 3 tahun untuk meraih titik impas (BEP). Namun, kondisi persaingan yang makin menghebat mengakibatkan banyak produk-produk baru para multinasional itu yang mengalami kegagalan. Coca-Cola gagal dalam memasarkan air minum dalam kemasan Bonaqa. Unilever mengalami kegagalan di mi instan Mie & Mie dan nasi instan Tara Nasiku. Investasi yang luar biasa besar yang mereka keluarkan hangus dalam waktu sekejab.<br /><br />Hal itu menunjukkan bahwa meskipun perusahaan-perusahaan multinasional itu telah dibekali dengan strategi bisnis mutakhir, teknologi tinggi dan merek yang kuat tidak serta merta mereka dapat menguasai pasar. Bahkan, segala kecanggihan yang dimilikinya terkadang menjadi penghalang untuk menjangkau konsumen berpenghasilan rendah di negara berkembang.<br /><br />Akibatnya, terjadi pergeseran strategi yang dilakukan perusahaan multinasional terlebih setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1998. Perusahaan multinasional akhirnya lebih memilih melakukan strategi Growth from Outside dengan melakukan akuisisi berbagai merek di Indonesia. Lihat saja bagaimana Unilever mengakuisisi Kecap Bango, Danone membeli Aqua dan Coca-Cola menguasai AdeS.<br /><br />Sebaliknya, perusahaan-perusahaan nasional terkemuka seperti Garuda Food, Grup Kino, Kalbe Farma, Sampoerna dan Polytron malahan tampil sebagai perusahaan marketing tulen. Dari merekalah justru muncul beragam produk-produk baru.<br /><br />Keberadaan produk baru sangat penting untuk mempertahankan eksistensi perusahan sekaligus untuk meningkatkan pertumbuhan dan kemampulabaan. Pada saat yang sama, peluncuran produk baru juga merupakan aktivitas yang berisiko dengan rata-rata kegagalan mencapai 40 persen di lingkungan produk konsumsi dan industri. Sebuah studi terbaru di AS menyebutkan bahwa tingkat kegagalan produk baru untuk produk konsumsi di sana mencapai angka 95 persen. Sementara, di Eropa hampir 90 persen dari semua produk baru yang diluncurkan mengalami kegagalan dalam dua tahun sejak diluncurkan ke pasar.<br /><br />Kemudian dari 10 persen yang berhasil bertahan di pasar tersebut hanya 3 persen saja yang bakal meraih posisi sebagai pemimpin pasar. Selebihnya, hanya akan menjadi produk pendamping atau subtitusi saja.<br /><br />Mengapa para pemasar sukses yang disebut di atas bisa melakukan launching 10 produk baru sementara 5 produk diantaranya mengalami kegagalan? Analisanya adalah sebagai berikut :<br /><br />Dari 100 NPL, 5 NPL yang sukses diantaranya adalah milik mereka tersebut di atas.<br />Dari 95 NPL yang gagal, ada 5 yang merupakan milik mereka tersebut di atas.<br />Berarti ada 90 NPL yang gagal karena berbagai sebab, yang pasti mereka tidak belajar bagaimana supaya sukses.<br /><br />Pernyataan itu bisa dibalik menjadi kalimat sebagai berikut : Kalau kita sudah mengetahui penyebab kegagalan dan melakukan langkah-langkah peluncuran produk baru yang benar maka peluang kegagalan menjadi sangat kecil.<br /><br />Ada beberapa penyebab kegagalan produk baru. Pertama, akibat kegagalan pasar atau pemasaran seperti kecilnya potensi pasar, tiadanya pembeda produk yang jelas, positioning yang lemah, ketidakpahaman terhadap kebutuhan konsumen, minimnya dukungan dari saluran distribusi serta reaksi agresif dari pesaing. Contoh di luar negeri kegagalan Crystal Pepsi yang meski meraih penghargaan sebagai Produk Minuman Baru Terbaik 1992 tetapi hanya meraih pangsa pasar di bawah 3 persen saja.<br /><br />Kedua, akibat kegagalan finansial yakni berupa rendahnya tingkat pengembalian investasi atau ROI. Contoh di luar negeri bagaimana pesawat supersonik Concorde mengalami kegagalan karena biaya pengoperasiannya mahal sehingga hanya menghasilkan sedikit keuntungan bahkan kerugian dalam jangka panjang.<br /><br />Ketiga, merupakan kegagalan dalam hal waktu. Yaitu terlambat memasuki pasar atau terlalu dini masuk pasar sementara pasar belum dikembangkan untuk siap menerima produk baru tersebut. Contohnya adalah Tara Nasiku produk nasi instan Unilever diluncurkan ketika pasar belum dididik untuk menerima produk nasi instan.<br /><br />Keempat, kegagalan teknis yang meliputi produk tidak bekerja dengan baik dan rancangan produk yang buruk. Contoh paling bagus adalah Newton produk dari Apple yang diposisikan sebagai PDA (personal digital assistance) tetapi konsumen tidak dapat memahami adanya kategori yang baru itu.<br /><br />Kelima, kegagalan organisasi yang disebabkan ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan organisasi serta tiadanya dukungan organisasi. Contoh di luar negeri adalah bagaimana produsen celana jin Levi’s yang gagal memasarkan pakaian untuk pria.<br /><br />Keenam, kegagalan lingkungan berupa peraturan pemerintah dan faktor makro ekonomi. Contohnya adalah Isuzu Panther yang semula mengandalkan murahnya harga solar dibandingkan bensin terpaksa mengubah strateginya menjadi irit mengonsumsi bahan bakar akibat pemerintah mengubah kebijakan harga BBM yang membuat solar tidak murah lagi.<br /><br />Menurut Al Ries dan Laura Ries dalam bukunya The Origin of Brands, produk atau merek yang kuat dan tahan lama di pasar diciptakan dengan cara membuat percabangan dari kategori yang sudah ada. Tetapi cara divergensi tersebut merupakan proses yang memakan waktu. Televisi diciptakan pada tahun 1927 tetapi baru dikomersialkan setelah Perang Dunia ke-2 usai. Perusahaan yang mencoba meluncurkan produk televisi pada tahun 1930-an justru mengalami kebangkrutan.<br /><br />Barangkali tidak ada produk revolusioner yang tumbuh demikian cepat seperti halnya komputer pribadi (PC). PC diperkenalkan tahun 1975, tahun yang sama ketika Bill Gates keluar dari Harvard dan pergi menuju Albuquerque, New Mexico untuk menuliskan program peranti lunak untuk komputer Altair. Microsoft, perusahaan yang didirikan Bill Gates, kini menjadi perusahaan paling kaya di dunia dengan nilai kapitalisasi di pasar modal mencapai 304 miliar dolar AS.<br /><br />Ada dua teori untuk meluncurkan produk baru yakni Teori A dan Teori B. Teori A disebut “Teori Pesawat Tinggal Landas” karena mengikuti proses pesawat lepas landas. Mula-mula melaju pelan di landasan kemudian dipercepat hingga melaju di landasan pacu hingga ribuan meter untuk selanjutnya dengan dorongan tenaga mesin jet membuat pesawat terangkat ke atas. Setelah mencapai tahap kestabilan di udara, pesawat baru diarahkan untuk mencapai ketinggian yang dikehendaki.<br /><br />Teori B disebut “Teori Big Bang” karena mirip dengan peluncuran roket. Sebuah merek diluncurkan seperti roket dan kemudian mengelilingi orbit.<br /><br />Teori A dianggap mengikuti hukum-hukum alam dan biasanya mampu bertahan lama di pasar. Tetapi cara itu memang memerlukan kesabaran karena membutuhkan waktu untuk mencapai posisi mapan di pasar. Mateschitz yang membeli lisensi Kratingdaeng dari keluarga Yoodvidya pemilik TC Pharmaceutical di Bangkok, Thailand membutuhkan waktu 4 tahun untuk meraih angka penjualan 10 juta dollar AS dan memerlukan waktu 5 tahun lagi untuk meraih angka penjualan 100 juta dolar AS. Kratingdaeng untuk pemasaran di wilayah Eropa dan AS diberi Mateschitz merek Red Bull.<br /><br />Menurut Al Ries dan Laura Ries, Red Bull nyaris dibangun dengan menggunakan PR bukan melalui iklan. Setelah posisi Red Bull mapan baru perusahan itu mulai beriklan agresif untuk mempertahankan posisinya di pasar. Demikian pula, WalMart yang memerlukan waktu 14 tahun untuk meraih angka penjualan 100 juta dolar AS per tahun. Berdasarkan hasil riset di AS dibutuhkan waktu rata-rata 6 tahun untuk meraih angka penjualan 100 juta dolar AS per tahun.<br /><br />Sebaliknya merek-merek yang menggunakan Teori B, yang meluncur bagai roket langsung menembus ruang angkasa umumnya cepat kandas pula. Muncul hari ini, menghilang esok hari. Itulah yang dialami Crystal Pepsi. Meski konsumen sebenarnya menyukainya tetapi Crystal Pepsi gagal di pasar. Padahal, Crystal Pepsi meraih penghargaan sebagai “Best New Grocery Product 1992” menurut AcuPOLL dari survei terhadap ribuan produk baru, Demikian pula penghargaan dari majalah Time sebagai produk baru terbaik 1992. Iklan Crystal Pepsi juga gencar ditayangkan. Tiga bulan setelah diluncurkan Crystal Pepsi meraih pangsa pasar 2,4 persen. Tetapi setahun kemudian produknya sudah menghilang dari peredaran di pasar.<br /><br />Para pemasar tentu tidak ingin mengalami kegagalan seperti yang dialami produk-produk di masa lalu seperti Dimension (sampo), Mie & Mie (mi instan), Tara Nasiku (nasi instan), Segarrr Dingin (minuman penyegar anti panas dalam) , Supertin (suplemen kesehatan), Snip Snap (biskuit anak), Gatorade (minuman penyegar), Sunfill (sirup rasa buah) dan Anak Sehat (jamu untuk anak).<br /><br />Produk yang bagus biasanya dihasilkan perusahaan yang memiliki kompetensi inti. Keahlian tersebut diperoleh karena perusahaan tersebut menekuni hal tersebut selama bertahun-tahun. Grup Martha Tilaar membesar karena ketekunannya di industri kecantikan, Unilever tetap unggul karena kepiawaiannya dalam hal pemasaran dan strategi kampanye dan PT Bintang Toedjoe mampu menduduki posisi pemimpin pasar karena keahlian mereka “membuat tua” sang pemimpin pasar dan menciptakan aturan-aturan baru di pasar.<br /><br />Oleh karena itu, pada bagian pertama buku ini akan ditampilkan para jago launching produk baru. Mereka adalah CEO, Direktur Pengelola, Direktur Pemasaran dan praktisi yang sukses dalam meluncurkan produk baru. Mereka umumnya berasal dari perusahaan besar seperti dr. Boenjamin Setiawan dari Grup Kalbe Farma, Sudhamek AWS dari Garuda Food, Johnny Darmawan dari Toyota Astra Motor, Angky Camaro dari Sampoerna, Willy Sidharta dari Aqua, dan Christ Iwan Arsianto dari PT Hartono Istana Teknologi (Polytron). Sementara, Harry Sanusi dari Grup Kino mewakili perusahaan menengah dan Yoe Kok Lin, Presiden Direktur PT Capung Indah Abadi, produsen Merit, mewakili perusahaan kecil yang berhasil meningkat menjadi perusahaan menengah berkat kekuatan produk baru.<br /><br />Di sini ditampilkan pula arsitek pencipta produk rokok mild yang semula dirancang sebagai jembatan antara produk rokok putih dan rokok kretek. Berkat ilmu yang secara lengkap diperolehnya di BAT mulai dari segi flavour, peracikan, penjualan, komunikasi, pemasaran, sampai assessment, Warsianto jadi sangat mahir dalam melacak kekuatan dan kelemahan rokok.<br /><br />Waktu itu memang kalau konsumen ingin menikmati rasa mereka cenderung memilih rokok kretek. Karena pada dasarnya orang Indonesia suka yang rokok yang beraroma (spicy) karena terdapat cengkeh, saos berikut rasa manis. Sementara rokok putih terasa tawar (plain). Kelemahan lain rokok kretek adalah memiliki kadar tar dan niklotin yangtinggi.<br /><br />Warsianto berhasil menciptaka kategori rokok baru yang mampu memenuhi kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) konsumen dalam dua hal. Pertama, dari segi citra atau penampilan setara dengan rokok putih. Kedua, dalam hal kadar tar dan nikotin juga dapat menjadi lebih rendah sehingga seimbang dengan rokok putih. Kategori tertsebut belakang dinamkan sebagai rokok Mild. Maka terciptalah dari tangannya pada 1989 A Mild (Sampoerna), pada 1996 Star Mild (Bentoel) dan 2002 Clas Mild (PT NTI Indonesia)yang kini merajai pasar Mild di Indonesia dengan pangsa pasar sekitar 90%.<br /><br />Disamping itu masih ada Barry Lesmana, praktisi iLead yang mantan bankir Citibank, mewakili industri jasa. Sedangkan, Darmadi Duriatno pengajar pascasarjana IBII mewakili kalangan akademisi.<br /><br />Pada bagian dua akan diuraikan tentang model peluncuran produk baru untuk short cycle product dan long cycle product. Bagian tiga berisi tentang pengembangan produk. Bagian empat tentang bagaimana pentingnya peranan inovasi. Bagian lima membahas bagaimana menyiasati masalah harga. Bagian enam tentang peranan jalur distribusi untuk mendukung kesuksesan peluncuran produk baru. Bagian tujuh mengenai peranan promosi. Terakhir bagian delapan berisi kumpulan resep-resep praktis peluncuran produk baru.<br /><br />Penulis sendiri sepanjang berkarier di dunia marketing, selama 15 tahun telah me-launching 9 produk, 4 diantaranya gagal. Namun, 2 produk lainnya menjadi pemimpin pasar. Pertanyaannya, bagaimana me-launching produk supaya sukses? Untuk itu seperti yang dituangkan dalam bagian pertama kami sengaja mewawancara mereka yang sukses di bidang dan kategori produk yang berbeda dan berusaha mengambil kiat-kiat sukses mereka. Mereka adalah pemain-pemain lokal Indonesia, sehingga kiat-kiat mereka pasti sudah terbukti berhasil dan bisa diterapkan di sini. Hal itu berbeda bila kita belajar dari kiat sukses pemain yang sukses di luar negeri seperti Eropa dan Amerika Serikat.<br /><br />Kiat-kiat mereka kami sarikan menjadi sebuah kerangka kerja (framework) yang sistematis, ringkas dan sangat praktis. Selamat membaca, mempelajari, menerapkan dan meraih sukses.*** </span></div>SIMON JONATANhttp://www.blogger.com/profile/05617154832802540814noreply@blogger.com0